Chapter 14

1.1K 133 6
                                    

Selama William ada di dekatnya. Mendekapnya erat seperti ini, Yuki merasa semuanya akan baik-baik saja.

***

Pagi ini, cuaca Kota London nampak cerah. Kalau saja ada orang dari luar planet bumi pergi berkunjung ke sini, mereka pasti tidak akan percaya jika tempat ini dan beberapa tempat lainnya di ujung bumi tengah mengalami pergolakan perang nan panas. London pagi ini terlalu indah untuk dibayangkan sebagai ibu kota dari salah satu negara yang terlibat dalam perang terbesar dalam sejarah peradaban manusia.

Pun yang dirasakan oleh Yuki.

Ia berdiri di balkon kamarnya dan menarik napas dalam-dalam. Membiarkan udara segar Kota London memenuhi kantong paru-parunya. Selain segar, aroma pagi ini juga terasa sejuk dan bersih. Mungkin efek dari hujan semalam yang cukup deras hingga meninggalkan sisa-sisa embun basah yang menempel di balik dedaunan dan pohon-pohon rindang.

Hujan.

Benar, mengingat hujan semalam, Yuki tidak tahu harus merasa sedih atau sebaliknya. Ia paling takut dengan hujan besar yang disertai dengan gemuruh petir, tapi semalam—secara mengejutkan, ia justru bisa tidur dengan nyenyak. Kalau boleh ditambahkan, mungkin tidur ternyenyaknya selama beberapa waktu belakangan ini.

Yuki tak perlu berpura-pura bodoh untuk mengetahui alasan di balik tidur nyenyaknya itu. Apa yang terjadi semalam masih menempel dengan sangat rapi dalam lemari ingatan di kepalanya. Cukup dengan mengingatnya saja, Yuki sudah merasa malu setengah mati. Malu lantaran sudah merepotkan lelaki itu, namun juga sebab lain yang masih samar dalam pikirannya.

Sulit untuk dimengerti, namun nyaman untuk dirasakan.

Apapun itu, Yuki mewanti-wanti dirinya sendiri agar tidak lupa untuk berterima kasih pada orang yang sudah membuat tidurnya nyenyak semalam. Tanpa dia, Yuki mungkin akan bangun dengan tubuh yang pegal dan kepala yang terasa berat.

Ia lalu memutar kepalanya dan melirik ke arah pintu kamar mandi. Menimbang-nimbang waktu yang dibutuhkan oleh pria itu untuk mandi, Yuki memutuskan untuk membersihkan kamar itu sebentar.

Kamar yang disediakan oleh Perdana Menteri untuknya dan William memang tergolong besar. Wajar saja, mengingat Gedung Parlemen Inggris ini memiliki arsitektur megah dan ribuan ruangan yang ukuran luasnya pasti tidak jauh berbeda dengan kamar yang kini sedang mereka tempati. Atau justru jauh lebih luas daripada kamar mereka.

Entah kenapa Yuki jadi merasa malu sendiri memikirkan kalau kamar ini adalah miliknya dan William. Memang bukan dalam arti yang sebenarnya, tapi tetap saja, secara teknis mereka berdua tidur dalam kamar yang sama dan eum—ranjang yang sama.

Cukup, wajah Yuki bisa bertambah memerah malu kalau saja pintu kamar mandi itu tidak berderit terbuka dan menampilkan sosok William yang Demi Tuhan ribuan kali lipat lebih tampan dengan rambut basah dan tatapan sayunya sehabis mandi. Air yang menetes dari rambut pirangnya itu menelusuri kening, telinga hingga rahang tegas William dan menggantung di sana.

Yuki sampai harus menelan ludahnya susah payah menantikan tetesan air itu jatuh dari rahang William.

“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?”

Yuki mengerjap.

Ya ampun, tanpa sadar ia sudah terlalu lama memandangi William.

“Umm, tidak,” jawab Yuki canggung.

William lalu berjalan ke ujung ruangan seraya mengusap-usap kepalanya dengan sehelai handuk. Yuki mengamatinya dalam diam.

“Hari ini kita akan mengelilingi Kota London lagi,” tukas William. Ia mengalungkan handuk putih itu di sekitar lehernya, kemudian membuka laci dan mengambil sesuatu dari sana. “Kau bisa membaca peta?”

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang