Chapter 7

1K 157 4
                                    

"Bertarunglah denganku. Satu lawan satu. Sebagai prajurit."

Yuki terperangah tak percaya dengan apa yang lagi-lagi masuk ke dalam gendang telinganya. Astaga, apa terlalu banyak mendengar kabar mengejutkan membuat kinerja telinganya mengalami kemunduran?

"A-apa katamu?"

"Kau mendengarku," tukas William. "Jangan membuatku mengatakannya sekali lagi."

Mulut Yuki terbuka. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya ia hanya bisa menelan kembali kata-katanya menggantung di tenggorokan.

"Meskipun kau bilang, kau terpaksa melakukan itu karena perintah dari Maxime, kenyataannya tetap sama. Kau tetaplah orang yang sudah-ah, tidak perlu kujelaskan lagi, bukan? Intinya aku tetap memiliki satu utang budi padamu."

Yuki menyimak. Sejujurnya, dalam hati kecil Yuki yang terdalam, ia sama sekali tidak pernah terpikir untuk mendapat imbalan atas apa yang dilakukannya kemarin. Saat itu, Yuki tulus untuk merawatnya. Jiwa kemanusiaan dalam dirinyalah yang mendorongnya untuk mau merawat William.

"Dan karena aku tidak pernah sudi menjadi seorang parasit busuk seperti ayahmu yang tak tahu terima kasih itu, aku tentu saja akan membayar utangku."

"Dengan...mengajakku bertarung?"

"Ya," sahut William santai. "Walau bagaimana pun, nyawa harus tetap dibayar oleh nyawa. Aku akan tetap mengincar nyawamu dan ayahmu, hanya saja kali ini dengan rencana yang berbeda."

William memutar tubuhnya. Berjalan menuju meja kerjanya, kemudian melompat duduk di atasnya sambil terus menghujamkan tatapan tajamnya pada sosok Yuki.

"Aku akan membuat keadaan kita menjadi sedikit lebih seimbang. Aku ingin membunuhmu, dan kau...ingin membunuhku juga, 'kan?" William sedikit tertawa sinis ketika mengucapkan beberapa deret kata terakhir. "Kalau begitu, akan jadi menarik jika kita melakukan head to head. Satu lawan satu. Dan baru akan diketahui pemenangnya, setelah ada yang terbunuh. Yaitu antara kau atau aku."

Seringaian William melebar. Ia lalu melipat kedua lengannya di depan dada. "Dan satu hal lagi yang harus kau ingat, Kato. Saat aku yang menang, nyawa yang menghilang bukan hanya satu, melainkan dua."

Tubuh Yuki menegang. Kepalanya sudah otomatis menampilkan wajah dari satu nyawa lagi yang akan hilang jika ia kalah dari William.

"Kau dan ayahmu."

Sekarang, kedua tangan dingin Yuki menggigil gemetaran. Ia paling tidak bisa membayangkan ayahnya itu pergi meregang nyawa. Apa yang terjadi pada ibunya lima tahun lalu, sudah cukup membuat Yuki terluka dan kesakitan. Ia tidak ingin merasakan rasa sakit dari kehilangan lagi. Ia takut.

"Tapi...." Meski suaranya lebih mirip tikus yang mencicit, Yuki tetap berusaha menyuarakan apa yang berputar di kepalanya. "Bukankah itu curang? Maksudku, kau ini 'kan memang prajurit, sementara aku hanya...perempuan biasa. Aku tidak tahu apapun soal bertarung. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkanmu?"

"Jangan khawatir," William menjawab santai. "Aku yang akan mengajarimu."

"A-apa?" Yuki memekik kaget.

"Tenang saja. Meskipun aku yang akan menjadi musuhmu nanti, aku tetap bisa bersikap profesional saat menjadi gurumu. Aku akan mengajarimu dengan sungguh-sungguh."

"Dan kau pikir aku akan percaya?" sela Yuki dengan mata menajam. Sifat disidennya muncul seketika. "Siapa yang bisa menjamin kau tidak akan membunuhku saat sedang mengajariku?"

"Aku sendiri yang menjaminnya," potong William dingin. "Lagipula, kau harus mengingat kata-kataku ini, Miss. Aku bukanlah seorang pengecut atau pecundang sampah yang berkhianat dengan kata-katanya. Jika aku bilang akan membunuhmu, aku akan membunuhmu. Dan jika aku bilang akan mengajarimu, maka itulah yang akan aku lakukan. Jangan berpikiran yang tidak-tidak, aku bukan pengecut rendahan yang melakukan tindakan sampah seperti itu."

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang