Ketika hendak kembali ke lapangan training, Hito berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia merenungkan keputusan yang baru saja ia ambil. Khawatir kalau-kalau keputusannya ini hanya akan menjadi perjuangan yang sia-sia atau bahkan membawa masalah lain yang lebih rumit. Tidak mudah baginya mengambil keputusan dengan cepat di tengah rasa bingung dan terkejut karena kedoknya baru saja terbongkar.
Namun pada akhirnya, Hito kembali menyadari bahwa cepat atau lambat, ia tetap harus memutuskan. Seperti kata pepatah tua—hidup adalah pilihan.
Menarik napas pendek, Hito mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang terbaik. Lagi pula, sebagai seorang prajurit, ia tidak boleh memiliki keraguan atas keputusannya. Prajurit harus yakin akan semua perkataan dan perbuatannya.
Sambil memantapkan pemikiran itu, Hito yang mendongakkan kepalanya tanpa sengaja melihat Ken yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Ketika dua pasang iris hitam itu saling bertemu, mata hitam milik Ken langsung membulat kaget. Tubuhnya seketika membeku di tempat, sedangkan Hito terus berjalan lurus ke arahnya.
“Ken,” Hito berbisik tepat di telinga Ken ketika dua pria itu akhirnya berdiri bersebelahan.
Rasa terkejut Ken semakin berlipat-lipat karena tuannya itu baru saja menyebut namanya di tengah tempat terbuka. Bagaimana jika ada orang lain yang mendengar? Penyamaran mereka bisa terbongkar.
“Aku akan pergi ke Inggris.”
Kali ini Ken lebih terkejut lagi.
“Jangan khawatir. Semuanya akan segera berakhir.”
Belum sempat Ken bertanya, Hito sudah lebih dulu melanjutkan.
“Terima kasih untuk semuanya, Ken.”
“Hiroshi -sama ....”
“Jaga dirimu baik-baik.”
Setelah itu, Ken hanya bisa berbalik seraya memandangi punggung Hito yang menjauh. Berbagai pertanyaan berseliweran dalam kepalanya bersamaan dengan rasa terkejut yang luar biasa. Semua ini terlalu mengejutkan baginya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tuannya tiba-tiba saja pergi ke Inggris dan mengucapkan kalimat-kalimat perpisahan seperti itu?
“Hiroshi- sama, ” gumam Ken lirih. “Ada... apa?”
***
—London, 29 Juli 1942
“Aku tidak percaya, di tengah perang besar seperti ini, masih ada negara yang terlihat aman dan tampak baik-baik saja.” Yuki memerhatikan orang-orang yang saling berbincang atau berjalan-jalan santai di trotoar jalanan dari balik jendela kendaraan besar yang kini sedang ditumpanginya.
“Inggris sudah lama menjadi negara hegemoni. Mereka sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan matang dan terencana. Tidak akan mudah meruntuhkan negara ini.”
Yuki melirik pria yang duduk di sampingnya. Sejujurnya, ia masih bertanya-tanya mengenai alasan pria itu yang mengajaknya untuk pergi ke Inggris.
Yuki masih ingat, saat mereka baru saja selesai berlatih kemarin sore, William tiba-tiba saja menyeretnya dan membawanya masuk ke dalam mobil besarnya. Tanpa beban, pria itu mengatakan bahwa ia akan pergi ke Inggris sambil membawa Yuki untuk ikut serta. Gadis itu tentu saja tidak terima. Seenaknya saja William mengambil keputusan yang melibatkan dirinya tanpa menanyakan pendapatnya terlebih dahulu. Yah, meskipun Yuki sendiri menyadari posisinya yang sebenarnya masih seorang ‘tawanan’, ia tetap ingin dihargai. Setidaknya, beri ia kesempatan untuk mempertimbangkannya. Jangan mendadak dan terkesan dipaksa seperti ini. Apalagi ia juga belum sempat mengucapkan sampai jumpa atau kalimat sejenisnya pada Maxime.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain And The Darkness
Historical Fiction[ CERITA LENGKAP ] Rencana yang tadinya sudah ia susun rapi dan terencana, mulai buyar dan berantakan. Tak ada lagi kepingan yang berjalan sesuai dengan apa yang William rencanakan. Semuanya menjadi kacau dan tak terduga. Hanya karena gadis itu. Han...