Chapter 21 (ending)

2.2K 180 14
                                    

Ketika kenyataan berjalan di luar dugaan, William tidak tahu harus berbuat apa. Dua nyawa yang pergi untuk menggantikannya, membuat dirinya diliputi perasaan berkecamuk. Syok, sedih, kecewa-dan yang paling dominan adalah rasa bersalah.

Ia tidak pernah mengharapkan ini. Mengetahui ibunya meninggal demi dirinya adalah informasi yang berhasil menjungkirbalikkan dunia William. Seperti seluruh keyakinan dan pegangan hidupnya runtuh seketika.

Dan kini, hanya menyisakan buih-buih penyesalan yang mengendap dalam dasar hatinya.

Semuanya sudah jelas. Dan seandainya William mengetahui ini lebih cepat, mungkin saja nyawa Hito tak perlu dikorbankan. Tak ada penyerangan ke Jepang, tak ada acara balas dendam, dan... tak ada pertemuan dengan Yuki.

William ingat. Ketika Takeshi Kato merenggut wanita yang paling berharga dalam hidupnya, ia pun bertekad untuk balik merenggut wanita yang juga berharga bagi Takeshi. Dan karena istri Takeshi sudah lebih dulu wafat, William pun mengarahkan target balas dendamnya pada anak perempuan Takeshi; Yuki.

Lalu semuanya berjalan begitu saja.

Rencana yang tadinya sudah ia susun rapi dan terencana, mulai buyar dan berantakan. Tak ada lagi kepingan yang berjalan sesuai dengan apa yang William rencanakan. Semuanya menjadi kacau dan tak terduga.

Hanya karena gadis itu.

Hanya karena gadis itu yang dengan perlahan dan tanpa sadar, telah menyentuh ruang hati William. Sisi terdalam dari hatinya yang telah lama tenggelam dan tak pernah tergapai oleh siapa pun.

Dan kini, Yuki berhasil menggapainya. Menariknya dan menyelamatkannya dari kegelapan yang selama ini menyelimutinya. Menggantinya dengan perasaan yang selama ini William cari dan butuhkan.

Cinta.

Pemikiran itu menggerakkan William untuk mempererat pelukannya pada perut Yuki.

Dari seluruh alur hidupnya selama ini, satu-satunya yang tidak William sesali adalah pertemuannya dengan Yuki. Kehadiran gadis itu dalam hidupnya telah menjadi... emm-kebutuhan? Tidak tidak. Ketergantungan lebih tepatnya.

Seperti sekarang. Saat pikiran William sudah benar-benar kacau dan buntu, hanya pada gadis itu ia ingin bersandar. Karena-

"Stefan, sudah ya?" Yuki menghentikan nyanyiannya sekaligus usapan lembutnya pada kepala William.

"Err...." William menggelengkan kepalanya dan malah merapatkan wajahnya pada perut Yuki. "Sebentar lagi."

"Hmm, oke oke."

-hanya Yukilah yang bisa membuat perasaannya jauh lebih baik.

***

Maxime mematut penampilannya di depan cermin. Ia tersenyum kecil ketika lagi-lagi melihat tubuhnya dalam balutan kemeja dan rompi milik Hito.

Takeshi memang sengaja memberi pinjam kemeja Hito pada Maxime mengingat baju seragam lelaki itu yang rusak parah karena terkena banyak tembakan. Lagi pula, postur tubuh Maxime dan Hito tidak berbeda jauh. Kemeja dan rompi Hito nampak melekat begitu pas pada tubuh Maxime.

"Dilihat-lihat, aku cocok juga jadi tentara Jepang," kekeh Maxime sambil memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.

Tak lama setelah itu, gerakan memutarnya pun terhenti. Ia menghela napas panjang, kemudian menatap pantulan dirinya dengan raut serius.

"Semuanya akan jadi lebih baik, Max," bisiknya pelan pada dirinya sendiri. Segaris senyum simpul kemudian terbit di wajah tampannya.

Pagi ini-satu hari setelah pemakaman Hito-ia, William dan pasukan khusus William sudah berencana untuk kembali ke Amerika. Meskipun luka di punggungnya belum benar-benar pulih, ada banyak hal yang harus ia dan William selesaikan di Amerika. Terutama untuk memperjelas kedudukan William di pemerintahan negeri itu.

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang