#5 The Things I Love

6.1K 729 20
                                    

Audy itu keras kepala. Audy itu practical. Audy akan melakukan hal-hal yang menurut dia perlu untuk mencapai tujuannya dan rela menukar kenyamanan-nya demi hal itu. Contohnya, soal transportasi.

Audy gak peduli kalau dia harus merelakan wajahnya terpapar debu dan asap metromini yang gue gak tahu lagi itu berapa kadar karbon monoksidanya jika itu artinya dia bisa datang tepat waktu ke sebuah meeting dengan naik Gojek. Audy juga gak akan sungkan buat berdesakan dengan ratusan orang lainnya di kereta commuter line atau transjakarta jika itu artinya dia bisa menghemat waktu tempuh dia di jalanan.

"Kamu yakin mau nge-gojek aja? Kalo mobil kamu kenapa-kenapa kan bisa pake mobil aku" protes gue waktu dia berangkat dari rumah—ehm, apartemen gue—ke kantor suatu hari. Ya memang jarak dari rumah—apartemen gue—ke kantor dia nggak terlalu jauh, tapi kan resikonya lebih minim kalau dia berangkat pake mobil.

"Jev, kalo aku berangkat pake mobil aku mau nyampe kantor kapan? Besok?" begitu tanggapannya.

"At least let me drive you" gue merajuk.

Audy malah tersenyum, manis banget, dan menghampiri gue yang kala itu masih terbaring diatas kasur. "Jevin, kamu tau suhu badan kamu pagi ini berapa?" ujarnya sembari mengusap dahi gue. Tangannya dingin banget. Apa jidat gue yang kepanasan ya?

"Thirty something..." gue menggumam pelan.

Ya waktu itu gue lagi meriang makanya gue nggak bisa nganter dia dulu ke kantor.

"Thirty nine. Almost fourty. You know what that means right, hm?" lanjutnya sembari merapikan rambut gue yang jatuh menutupi dahi gue yang panas ini. "Nggak ada nyetir-nyetir atau kelayapan sampe suhu badan kamu balik ke normal"

Gue hanya bisa menghela nafas pasrah. "Tapi hati-hati. Jangan lupa pake helm. Pesenin ke abangnya jangan kebut-kebutan"

"Ntar aku suruh abangnya ngepot ah kayak Valentino Rossi" Audy tersenyum jahil.

Ini anak emang bener-bener.

"Iya sayang, aku pasti pake helm kok kalo nggak juga pasti dipaksa abangnya pake helm lah, orang itu udah masuk SOP dia sebagai seorang ojek online. Abangnya juga nggak akan ngebut kecuali aku yang minta, and no I won't ask him to so please stop worrying okay?" Audy mengecup dahi gue lalu tersenyum manis banget (kapan sih dia nggak manis pertanyaan gue).

Her being all independent and stuff is what turns me on the most. Audy nggak akan ngomel panjang lebar kalau kebetulan saat itu gue lagi nggak bisa nganter dia ke kantor, dia hanya akan mengeluarkan ponselnya untuk memesan gojek lalu udah. Sepuluh sampai lima belas menit setelahnya gue akan dapat kabar dari dia kalo dia udah di kantor.

Audy bahkan juga punya kartu yang buat naik kereta itu—meskipun most of the time dia nggak menggunakannya karena dia punya gue atau supir kantornya. Buat jaga-jaga aja katanya, lagian kartu tersebut ternyata juga gak ada masa berlakunya jadi menurut Audy it will always be handy to keep that thing in her wallet.

"Just in case I need to hop on to the next train," begitu ujarnya dengan acuh.

"Mau kabur ya kamu, hm?"

Audy tersenyum jail dan mengangguk. "Iya aku mau kabur sama brondong manis anak magang kantor yang baru masuk hari ini and live happily ever after somewhere in the suburban area" ia kemudian memeletkan lidahnya.

Wrong move. Ucapannya tadi membuatnya mendapatkan balasan berupa serangan kelitikan dari gue yang kelewat gemas sama tingkah polahnya. Dan Audy yang gelian terpaksa harus menyerah dalam kondisi ngos-ngosan kehabisan nafas karena tertawa.

***

Percaya nggak kalau gue bilang Audy itu nggak jago dalam hal memasak, despite living alone for years. Gue aja heran waktu dia jujur soal hal ini, katanya dia cuma bisa masak makanan basic kayak berbagai jenis olahan telor (maksudnya disini adalah telor ceplok, dadar, scrambled, dan rebus) serta instant foods. Kalau disuruh bikin makanan kayak rendang atau gulai ayam, ya jangan nyuruh Audy deh. Kasian gue liatnya nanti.

Tapi, Audy anaknya gigih dan memiliki kemauan belajar yang besar (cielah). Dia sadar, kemampuan housekeeping—termasuk di dalamnya memasak, adalah kebutuhan untuk survive bukan semata-mata karena dia perempuan dan perempuan diidentikkan dengan urusan domestik seperti itu. Audy tau dia gak selamanya bisa mengandalkan aplikasi ojek online yang akan mengantarkan makanan ke depan pintu rumahnya kapanpun dia laper, jadi dia belajar.

Kalau kebetulan Audy lagi nggak hangover, akhir minggu adalah waktu yang biasanya dia habiskan untuk bereksperimen di dapur. Dia akan menggeret gue ke Food Hall untuk belanja beragam bahan makanan mulai dari yang instan-instan kayak indomie dan pasta, sampai bumbu-bumbu dapur yang gue suka ketuker nama-namanya.

"Ini kencur kan?"

"Bukan, Jevin, itu lengkuas"

"Nah, kalo yang ini pasti kencur!"

"Jevin, itu kunyit"

Ya gitu percakapan kita tiap berada di section bumbu-bumbuan. Kemampuan masak Audy mungkin belum mencapai level Mama apalagi Gordon Ramsey, tapi pengetahuannya akan dunia masak memasak bisa jadi lebih dari mereka berdua. Atau minimal ya, lebih advanced dari gue yang cuma bisa bergantung sama indomie.

Kelar belanja, Audy biasanya akan sibuk buka-buka Cookpad memilih resep mana yang mau dia coba hari ini. Gue? Tentu saja langsung naik pangkat dari kuli panggul yang bertugas bawa-bawain kantong belanjaan dari mobil ke apartemen jadi asisten chef.

"Jev, potongin itu bawang putih sama bawang merah"

"Jevin ambilin ceker di freezer"

"Itu kencur tolong dibersiin, Jev"

"Jev... aku bilang kencur bukan jahe"

Hey, it's not my fault benda-benda itu mirip semua bentuknya.

Anyway, sebenarnya keberadaan gue di dapur lebih banyak mudhorot-nya sih daripada ngebantu. Tapi gue suka liat Audy grasak-grusuk di depan kompor, motong-motong whatever shit it is (please maafin pengetahuan bumbu masak gue yang minim ini) di talenan, nyuci sayuran, numis, ngaduk-ngaduk...

She looks sexy in the kitchen.

"Jevin kamu kalo laper tunggu di ruang TV aja deh ya, I can finish this on my own" biasanya dia berujar begitu kalau dia merasa kehadiran gue di dapur mulai mengganggu flow eksperimennya.

"Aku laper, tapi aku maunya makan chef-nya aja boleh nggak?" gue meletakkan dagu gue di bahunya saat dia lagi mengaduk-aduk masakannya.

"I'm sorry, sir, but the chef is not available on our menu" candanya renyah.

Gue terkekeh dan mengecup bahunya. "But it's a special request from a very special customer," lalu gue mencium lehernya dan berbisik. "He said, the chef looks more appetizing than the main course"

"If you keep this up, this dish will burn and we will have nothing for lunch, Jev"

Tangan gue bergerak untuk mematikan kompor dan memutar tubuhnya agar dia menghadap gue. "You know what? Just this time, I don't care"

After Six: JevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang