#6 The Bad Days

5.9K 705 55
                                    

Gue dan Audy jarang berantem. Selama 5 tahun kita menjalin hubungan ini, kalo gue itung berapa kali gue dan Audy bertengkar pake semua jari-jari gue, paling juga jarinya nyisa banyak. Serius.

Alasan utama kita jarang berantem adalah karena kita jarang menemukan alasan untuk berantem. Ini sebenarnya gue bersyukur banget sih, disaat gue seringkali mendengar cerita-cerita temen gue tentang cewek mereka yang ngambek kalau mereka balik malem, marah kalau mereka nggak bisa jemput, murka kalau mereka deket sama cewek lain, gue hampir nggak pernah merasakan semua hal itu bersama Audy.

"Lah, ngapain aku ngomel-ngomel kalo kamu balik malem, 'kan kamu kerja? Emangnya aku mau kamu omelin kalo aku balik malem juga? Ya nggak lah. Kaya anak SMP aja balik malem diomelin" gitu waktu gue tanya ke Audy soal kenapa dia nggak pernah terganggu setiap kali gue balik malam.

Cewek gue emang deh.

Kalau soal cemburu, pendekatan yang digunakan Audy beda lagi. Pernah ada rumor yang beredar di kantor gue kalau gue lagi deket sama seorang sekertaris yang baru masuk beberapa minggu sebelumnya. Jangan tanya gue itu rumor datengnya darimana ya karena yang pasti bukan dari gue. Lagian perasaan gue juga nggak pernah ngapa-ngapain sama itu anak, tapi entah bagaimana caranya rumor yang awalnya cuma rumor itu pun sampai ke telinga Audy.

Tau nggak respon Audy gimana?

"Yang mana sih anaknya aku mau liat dong mukanya?" begitu katanya dengan santai.

Ya, karena gue juga nggak punya fotonya (ngapain juga, siapa dia siapa gue) jadi gue terpaksa harus ngubek grup WA kantor buat nyari foto orang-orang banyak—kebetulan kemarin habis ada yang ultah nah jadi gue cari aja disitu fotonya.

"Nih, yang pake baju merah" gue men-zoom foto itu untuk menunjukkan kepada Audy wujud dari si tersangka.

Audy memperhatikan foto itu dengan seksama terus manggut-manggut. "Ada instagramnya?"

"Nggak tau. Coba kamu cari aja. Namanya ..."

Namanya gue sensor ya, nggak enak sama orangnya.

Waktu Audy akhirnya menemukan instagram oknum tersebut, dia cuma scroll-scroll beberapa detik terus langsung balikin lagi HP gue.

"Kamu suka sama dia?" tanyanya.

Gue menggeleng cepat. "Ya nggak lah. Gila kali aku udah dikasih kamu masih ngelunjak lirik-lirik orang lain"

"Oh yaudah kalo gitu" Audy mengangguk acuh.

Gue mengerenyit. "Kamu nggak cemburu kan?"

"Ngapain aku cemburu? Dia nggak lebih baik dari aku kok. Liat sendiri kan tadi foto-fotonya dia gimana" balas Audy santai.

Gue bengong. Sombong juga ini anak satu.

"Ga usah bengong gitu ah, Jev" dia tertawa geli. "Aku mungkin akan terdengar sombong, but as a woman, I know my worth, my level, and my game. And she doesn't seem to be enough to compete with all that"

Dan ternyata Audy benar. Usut punya usut ternyata rumor kedekatan gue itu disebar oleh si oknum sendiri yang kayaknya sih ge'er waktu gue bantuin dia pas dia diomelin sama Pak Bos gara-gara kerjaannya gak beres. Setelah itu, kalau dipikir-pikir dia emang jadi selalu nempel gue mulu sih; entah itu buat nanya kerjaan sampe buat hal-hal remeh temeh kayak makan siang atau hangout sepulang kantor.

Ya elah. Padahal tau nggak yang dia maksud bantuin dia pas diomelin sama Pak Bos itu ngapain? Gue cuman ngingetin ke Pak Bos kalau kita ada meeting yang lebih penting untuk dihadiri daripada ngomelin kerjaan sekertaris baru yang nggak beres itu.

"Well, that's a new low!" Audy tertawa puas waktu gue ceritakan hal tersebut di rumah. Dia sampe geleng-geleng sendiri karenanya, ya jangankan dia gue aja juga geleng-geleng pas tau itu pertama kali.

After Six: JevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang