I was never the one who gave away my trust so easily. Not even with Jevin.
Jangan salah, ini bukan berarti aku takut atau malah nggak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain sebelum dia—on the contrary, aku pernah. Sering. Terlalu sering, malah.
Buatku, hubungan-hubungan itu fungsinya kayak selotip. Cukup buat merekatkan tapi nggak akan kuat bertahan, karena yang harus direkatkan adalah sebuah ornamen kaca yang udah pecah berkeping-keping dari jaman dahulu kala.
They're just men that made it fun while it last, but never actually lasted.
Aku pernah baca di sebuah artikel bahwa rasa sakit itu merupakan hal yang universal—tapi cara kita bereaksi atas rasa sakit itu adalah hal yang personal. Everyone reacted to pain in a different way. Ada yang mengalihkan rasa sakitnya dengan hidup dalam kesendirian; menghindari kontak apapun yang beresiko memunculkan rasa itu lagi. Ada yang berlari, menjauhi rasa sakit yang terus mengejarnya dan berusaha menemukan shelter baru dengan harapan dia bisa beristirahat dan menyembuhkan luka yang lama. Ada yang justru menikmati rasa sakitnya sampai-sampai dia lupa bahwa itu adalah rasa sakit, we call them a masochist.
Dan ada juga yang melawan api dengan api—menaburkan garam diatas luka, menghancurkan diri mereka sendiri perlahan hingga pada suatu titik mereka tidak lagi bisa merasakan rasa sakit itu, karena mereka sudah hancur bersama lukanya.
Bunda dulu seperti itu.
And then there's me. Pilihanku dalam mengatasi rasa sakit? Menenggelamkannya dalam ingar bingar pesta dan alkohol. Juga kehangatan tubuh orang lain. Berharap semua hal itu bisa membantuku melupakan bahwa aku sedang merasa kesakitan dan terluka. Tapi ternyata, membohongi diri sendiri masih jadi hal yang paling sulit buat dilakukan.
That's how I started out with him, too. Jujur, aku nggak berharap apapun dalam hubunganku dengan Jevin ini. Dia keliatan kayak cowok-cowok lainnya yang pernah jadi mantanku; pintar, ganteng, smooth, and is a good kisser. Aku bisa menemukan cowok kayak dia dengan mudah kayak aku menemukan gerai franchise fried chicken di Jakarta. Dan semudah menemukannya, semudah itu juga aku bisa meninggalkannya karena in the end, dia cuma akan jadi selotip yang gak akan kuat merekatkan bagian-bagian yang udah retak dari aku.
That's what I thought.
Mau tahu apa yang mengubah pikiranku?
Waktu itu pertama kalinya aku wasted setelah kami resmi 'berpacaran'. Jevin mengantarku pulang dengan HRV putih miliknya yang belakangan ini rutin nongol di lobby kantor dan apartemenku. Awalnya aku memang nggak berniat untuk mabuk, tapi setelah beberapa gelas bir di Beer Garden, menurutku, apa salahnya? I haven't been drunk for a while, and I needed to get some steam off of my system.
"Dy, yakin kamu mau lanjut Empirica?" begitu tanyanya waktu itu.
Aku hanya mengendikkan bahu dengan acuh dan menjawab, "Kenapa nggak?"
And so we got drunk. I got drunk, to be exact.
Aku lupa berapa shot yang aku habiskan malam itu, aku hanya ingat Jevin yang menepikan mobilnya sebelum lampu merah untuk memasangkan seatbelt-ku ketika kita pulang. Dan aku yang mencondongkan badan untuk menciumnya.
We did make out for a while. Jevin sempat mengeluh soal lipstikku yang menodai wajah serta rahangnya, dan dengan nada bercanda dia bersumpah untuk membalasnya kapan-kapan. Padahal dia sendiri juga meninggalkan hickey di leherku yang membuat aku harus ke kantor dengan turtle-neck beberapa hari setelahnya.
Setelah itu, Jevin nggak mengantarku pulang melainkan membawaku ke apartemennya di Casablanca. Itu pertama kalinya aku menginap disana. Aku pikir dia bakal menggunakan kesempatan itu to get down on me. Gak usah munafik lah, the chances are there. Aku yang mabuk, apartemennya, dan dia. Seharusnya Jevin bisa menggunakan kesempatan itu untuk melakukan hal tersebut, selayaknya laki-laki lain yang pernah aku pacarin sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Six: Jevin
ChickLitThe minute we shake hands, I have already decided. I like this girl. "Nice to finally meet you, again, Audy" "Nice to meet you too, again, Jevin"