menangis

102 3 0
                                    

-Willson febian

Aku memandangi gadis itu berjalan ke arah toilet. Dia seorang gadis yang sangat memikirkan masa depan. Gadis yang sangat misterius.
Di balik sikapnya yang dingin, tegar.  Betapa aku menyukainya dalam diam. Dengan perlahan aku telah tertarik untuk masuk ke kehidupan nya.
Dengan perlahan pikiran ku mulai melayang ke arahnya.
Aku mencintainya, sungguh. Tapi aku tak tahu, tak tahu harus berbuat apa.

Lamunan ku buyar ketika ponsel Anast yang berada di meja bergetar lama, menandakan panggilan masuk. Dari rumah gadis itu.

" ya?"
"Apa ini ponsel Anastasya?."
"Ya, saya bosnya."
"Ah, siapapun anda. Aku ibunya. Apa Anast ada?."
" dia sedang ke toilet, katakan saja, nanti saya sampaikan."
" baikalah kalau begitu. Neneknya meninggal. Suruh dia segera pulang."

Aku mengerutkan kening dalam. Neneknya meninggal suruh dia segera pulang. Betapa dinginnya dan tidak berperasaannya kalimat itu terdengar. Seolah wanita itu hanya sedang membicarakan cuaca mendung di luar. Atau mengomentari makanan yang terasa tidak enak di lidah.

" Ada apa? Ada yang menelpon?."

Aku mengangkat wajahku, memandangi gadis yang sudah berdiri di hadapanku. Menggoyang goyangkan tangannya di depan wajahku, meminta perhatian.

Aku tidak tahu cara memberi tahu Gadis itu dengan benar, tanpa menimbulkan kesan tidak peduli seperti nada bicara yang biasa aku gunakan pada gadis itu selama ini. Aku bahkan nyaris tidak tahan jika harus menatap Gadis itu lebih lama. Neneknya meninggal, Aku tidak mungkin bisa menyampaikan berita ini tanpa membuat gadis itu histeris. Tanpa membuat dirinya luluh lantak.

" Nenekmu." aku berujar pelan, tidak yakin ingin melanjutkan.
Aku melirik gadis itu, bahunya yang melunglai, dan sinar pemahaman yang muncul dimatanya kemudian. Gadis itu tahu.

" Mau mengantarku pulang ke rumah?." suara Anast tercekat dan dia memperbaikinya dengan berdehem. " Agar aku bisa mengganti pakaian?."

Aku mengangguk, memandangi sikap tubuh gadis tersebut kembali tegak, matanya mulai memperlihatkan kilat profesional, dan senyum kembali terukir di wajahnya.

Aku membiarkan Anast berjalan mendahuluiku, mungkin untuk saat ini akulah yang akan menjadi pengawal nya. Aku bertanya tanya bagaimana cara gadis itu melakukannya berusaha terlihat baik baik saja, seolah tidak terjadi apa apa.

Lalu ketika aku dan Anast sudah berada di lapangan parkir, anast tiba tiba berbalik, dengan mata memerah dan berkaca kaca, melangkah ke arahku.

Anast tidak memelukku, juga tidak melakukan kontak denganku. Hanya berdiri di depanku seperti itu, menundukan kepala, dan melepaskan kendali dengan membiarkan bahunya berguncang. Tanpa isak tangis. Tanpa ada tanda tanda banjir air mata.

" Sebentar." Anast meminta. Dan aku membiarkan.

Apakah seperti ini rasanya melihat kehancuran gadis di depanku? Gadis yang selalu bersikap kuat dan dingin terhadapku. Karena jika iya, aku bersedia menyerahkan apa saja yang diri aku miliki.

The funeral

Aku menggemeretakan gigi, membentuk kepalan dengan jarinya yang menekuk, membiarkan kukuku menghujam telapak tangan hingga meninggalkan bekas. Rasa sakit masa lalu lebih baik daripada membiarkan diriku menyerah dan menarik Anast ke dalam pelukanku. Anast yang kini berdiri sangat dekat, begitu dekat hingga bagian bawah gaun hitam yang ia kenakan nyaris menyentuh celanaku. Hanya satu langkah lagi untuk mendekap. Hanya tinggal satu rengkuhan tangan saja, dan aku begitu yakin ingin membiarkan Anast menangis dengan wajah tersuruk di dadaku.

Ada yang tidak pernah ia perlihatkan kepada dunia. Tangisan. Dan saat ini, aku ingin membantu Anast untuk menyembunyikan butiran air tersebut dari penglihatan semua orang. Anast hanya perlu menoleh. Berbalik sedikit saja.

ME ANASTASYA CLAUDIA (Willson Febian Grey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang