Selena(10)

12 5 0
                                    

Jam 8 malam...

Harris mengambil kantong plastik yang tiba-tiba saja ada di bawah bantalnya ketika ia bangun. 

Ia mengasumsi bahwa itulah kantong gaib yang ia harus pakai untuk mentransfer barang-barang dari dunia nyata ke Hyleem.

Ia memasukan hp-nya ke dalam kantong gaib.

Harris meminum dua pil obat tidur yang ia beli di supermarket tadi, memasang lagu jazz, lalu segera terlelap dengan kantong gaib tersematkan di tangan kanannya

Harris sekali lagi merasa mual, jiwanya diputar-putar dilorong yang sama dengan kemaren malam. Ia mendarat di ruangan yang penuh angka-angka yang kemaren.
 
Harris menunggu supaya terjadi sesuatu. Di tubuhnya tersematkan baju yang diberikan penatua di hari pertama.

Tiba-tiba lantai lorong itu terbuka dan Harris dibuat mual seperti pada lorong biru yang pertama.

.  

.

.

.

Darr, gue mau kerja disini! Mana surat kontraknya?”

.

.

.

“Kak Riss! Kakak Harriss!” Miranda menari-nari ceria mengelilingi tubuh Harris. “Hari ini kakak selesai kelas jam berapa? Mau makan bareng nggak?”

“Jam 12.”

“Ha? Masa? Terakhir kali aku lihat jadwal kakak…”

“Lu liat-liat jadwal orang!? Lu emang nggak tahu malu ya!”

“S..sori, sebagai permintaan maaf aku traktir makan deh…”

“Go away you b*tch.”

“Ihh jahat! Kenapa kakak panggil aku begitu?”

Suara wanita itu hari ini sukses membuat Selena eneg. Miranda, cewek selalu menggoda coganz-coganz yang ada di sekitarnya tanpa tahu malu! Terutama kepada seorang anak jurusasn psikolog, Harris Effendi.

Sudah menjadi kebiasaan satu kampus melihat Harris membentak-bentak Miranda dan Miranda yang selalu menempel pada Harris bagai lintah.

Memang Selena dan Miranda tidak selalu sekelas, tapi entah kenapa Miranda seperti tidak menyukainya.

Tatapan Miranda selalu mendingin setiap kali berpapasan dengan Selena. Tak jarang Miranda menggerutu setiap kali Selena ada. Tapi Miranda tidak membully Selena.

“Woy Sel, hari ini ada kerja kelompok kan?” Orlyn menyahut.

“Ha iya? Dimana? Gue nggak inget ah.”

“Iya sumpah, gue anter lu deh nanti.” Selena menatap sahabat baiknya dengan curiga.

“Alah, boong aja lu. Nanti lu pasti ngajak gue minum di bar. Lagi.” Orlyn menyengir karena niatnya sudah terbongkar.

“Ayolah Sel, lu nggak pernah minum sekalipun. Sekali-kali kita minum bareng lah…”

“Nggak.”

“Sel,” Orlyn tiba-tiba berkata dengan mimik serius sambil mencengkram kedua bahu Selena. “Lu berkacamata.”

“Terus?”

“Rambut lu nggak teratur.”

“Lu jarang banget pergi ke mall.”

“Lu gendut”

Pabrik ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang