Bagian Dua Puluh Dua

14.1K 1.3K 104
                                    

☆Sherry Kim☆
.

Demam itu belum juga turun meski Jaejoong sudah mengikuti saran dokter untuk mengompres tubuh suaminya sesering mungkin, bahkan sampai malam berikutnya pun ia masih melakukan hal yang sama. Berharap demam itu turun dan membangunkan Yunho dari tidurnya.

Genap dua malam satu hari suaminya itu tak sadarkan diri karena demam, berebahan di ranjang tanpa melakukan apapun. Dan meski sekarang demam itu sudah lewat, Yunho belum juga menunjukan tanda-tanda akan terbangun.

Yunho mengigau, namun tidak membuka mata. Hal itu membuat kekhawatiran yang di rasakan Jaejoong semakin bertambah.

Fajar baru saya terbit. Hari ketiga dimana suaminya tetap tak menghiraukan keberadaan serta kekhawatiran dirinya.

Jendela baru saja di buka untuk memberi angin pada ruangan lembab itu. Kamar itu berbau obat. Padahal baru semalam Yunho menumpahkan obat di atas selimut saat Jaejoong mencoba menyuapi obat untuk suaminya.

Seprai sudah ia ganti. Yunho juga sudah berganti pakaian bersih usai Jaejoong mengelap tubuh berkeringat suaminya. Lelah mulai terasa. Ia sudah tidak tidur dengan baik selama beberapa hari, di tambah dua malam penuh menjaga suaminya tanpa berani menutup mata. Takut jika terjadi sesuatu pada Yunho dan ia tidak menyadari hal itu.

Duduk di sisi ranjang, Jaejoong menyetuh lembut wajah Yunho yang masih betah menutup mata. Tubuh itu masih hangat, namun tak lagi terasa panas menyengat seperti kemarin.

Rasa bersalah meyeruak dari dalam hati Jaejoong. Ia sudah di beritahu oleh ibu mertuanya bahwa Yunho mencarinya ke jepang. Demi menjemputnya. Yang tentu saja berakhir nihil karena Jaejoong tidak pergi kemana-mana.

"Sayang. Buka matamu. Ku mohon." bisik Jaejoong di tengah isakan yang keluar dari bibirnya. Mata itu sembab karena terlalu banyak menangis.

Jaejoong tidak suka melihat mata yang biasanya menatapnya penuh cinta itu tertutup. Tubuh tegap yang selalu melindunginya itu tak bergerak, tak berdaya. Jaejoong lebih suka menghadapi amarah Yunho, sikap arogan serta keangkuhan pria itu yang sepertinya sudah mendarah daging ketimbang melihat pria itu tak berdaya di atas ranjang.

Cabang rambut kasar di wajah Yunho telah ia cukur. Jika pria itu sadar, Yunho tidak akan mengijinkan Jaejoong membantunya bercukur. Tapi ketika pria itu tertidur dan ia duduk di sisi pria itu, ada banyak sekali hal yang perlu ia kerjakan ketimbang menyesali segala tindakan kekanakan mereka.

Paman Jong Kook benar. Tidak seharusnya ia pergi begitu saja setelah bertengkar dengan suaminya. Andai ayah mertuanya tidak menahan Jaejoong, dapat di pastikan ia tidak akan tahu jika Yunho sama menderita seperti dirinya.

Bahkan suaminya itu menahan sakit dan lapar. Tidak maka dengan baik selama beberapa hari sampai tubuh yang biasanya segar bugar itu tergeletak tak berdaya di atas ranjang karena sakit.

"Jae... Jae... Jangan pergi." suara serak Yunho menarik perhatian Jaejoong. Yunho kembali mengigau, memanggil namanya. Dan ini bukan kali pertama pria itu meneriakan namanya dengan suara keras penuh kesedihan. Yang hanya membuat hati Jaejoong tercabik-cabik.

Jaejoong menunduk di atas tubuh suaminya untuk berbisik.
"Ya. Aku disini. Buka matamu Yun, aku disini." jemari Jaejoong menggegam erat tangan hangat suaminya. Tidak ingin melepaskan tangan itu meskipun Yunho menggenggam tanganya terlalu erat.

It's (not) A Perfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang