Bab Lima

16.8K 1.3K 63
                                    

I'ts (not) A Perfect Wedding
Sherry Kim
.
.
.

Langkah Yunho terhenti di tengah tangga mendengar suara Jaejoong dari arah pintu masuk. Istrinya itu juga berhenti melangkah di tengah ruang tamu menyadari keberadaan dirinya di rumah pada jam kerja siang itu.

"Selamat siang." Sapaan itu terdengar tidak menyenangkan di telinga, mengingat suasana hati Yunho sedang tidak baik.

"Dari mana saja kau?"

Jaejoong berjalan menaiki tangga, berhenti di dua anak tangga dari tempat Yunho berdiri. "Menemui sepupuku." jawabnya santai."

"Sampai sesiang ini?"
"Aku menunggu paman, beliau tidak ada di rumah. Boleh aku istirahat? Aku lelah, Yunho." Jaejoong mengangguk sopan, meminta ijin undur diri.

Sikap acuh istrinya itu membuat Yunho merasa di abaikan dan tidak di hargai. Setelah apa yang terjadi di antara mereka tadi malam harusknya keduanya tidak harus menjaga jarak dan bersikap dingin satu sama lain. "Kenapa kau tidak meminta ijin dariku dan pergi ke sana? Aku tidak suka kau pergi sendirian tanpa aku. Lain kali aku tidak mengijinkanmu berkunjung sendirian."

Jaejoong berhenti di anak tangga yang sama dengan suaminya, meskipun ia marah atas permintaan yang menyatakan bahwa ia adalah milik pria itu dan harus mendapat ijinnya untuk pergi kemanapun, ia terlalu lelah untuk mendebat dan berjalan melewati suaminya. "Aku menikah denganmu, bukan di jual kepadamu. Jika kau ingat itu." ujarnya.

Jemari Yunho menangkap pergelangan tangan Jaejoong sebelum wanita itu melewatinya. Musang Yunho menatap tajam mata istrinya karena wanita itu dengan lancang membantah apa yang ia kehendaki. "Aku tidak memberimu pilihan, aku memerintahmu."

Sorot mata Jaejoong menatap langsung ke arah Yunho, mengejek. Ia tersenyum miring, mengibaskan lengan agar lepas dari cengkraman tangan suaminya. Lalu memberi jarak dan hampir saja kehilangan keseimbangan andai Yunho tidak menangap tubuhnya dengan sigap. "Lepaskan." Jaejoong berdesis. Sejujurnya ia marah dengan suaminya ini karena meninggalkannya pagi tadi tanpa pamit.

Anggap ia merajuk, toh ia memang ingin mencakar wajah Yunho yang sok berkuasa dan menyebalkan itu sejak lama, pria itu suka bertingkah seenaknya sendiri. Abaikan jika ia memiliki secerca perasaan bersalah karena pergi tanpa pamit untuk mengunjungi paman dan bibinya.

Menghela napas, ia sepenuhnya sadar tidak boleh egois. "Kemana kau pagi ini. Tidak ada. Jadi kepada siapa aku harus meminta ijin." cengkraman tanga Yunho melonggar. Pria itu mundur selangkah dan memberi jarak di antara mereka.

"Aku ada rapat penting yang harus aku hadiri. Jadi," tangan Jaejoong terangkat. Mencegah Yunho menjelaskan apapun yang ingin pria itu jelaskan.

Jaejoong berdiri hampir limbung. Ia terlalu lelah, ia melupakan sarapan karena bangun kesiangan. Pagi ini saat turun ia mendapati anak-anak sudah siap untuk berangkat sekolah dan mengabaikan sarapannya takut mereka terlambat. Ia memutuskan untuk sarapan nanti di jalan atau di rumah paman. Sesampainya di sana ia lupa karena pikirannya sibuk oleh perasaan bersalah karena melupakan hari ulang tahun sang paman, dan memikirkan hadiah apa yang akan ia berikan untuk pamannya.

Jaejoong membuka mulut akan bersuara. "Yun... "

Dering ponsel Yunho menghentikan apapun yang akan Jaejoong ucapkan. Pria itu merogoh saku jas dan menatap layar ponselnya dengan tenang, wajah dingin pria itu kembali muncul sebelum menjawab dengan suara dalam yang di takuti semua bawahan. "Ya, aku akan segera tiba." Tanpa mengatakan sepatah kata perpisahan apapun kepada Jaejoong, Yunho menuruni anak tangga dengan langkah lebar dan acuh. Meninggalkan Jaejoong yang melongo hebat di tengah tangga menatap kepergian suaminya tanpa berkedip.

It's (not) A Perfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang