Chap 8

15.8K 1.4K 69
                                    

Sai berdiri dihadapan lelaki yang telah menjadi walinya sejak ia berusia enak tahun. Lelaki itu tampak membaca sebuah kertas dengan foto seorang pemuda berambut pirang. Dalam hatinya Sai berpikir resah. Apa yang diinginkan oleh lelaki tua di hadapnnya ini? "Sai, sesuai janjimu dulu. Kau akan melakukan apapun perintahku jika aku mengijinkamu mengambil jurusan seni lukis." Ucap lelaki itu pelan. Mata kirinya yang tidak tertutup perban menatap Sai tajam. Ia melempat dokumen yang di bacanya kehadapan Sai. Tersebar di bawah kaki pemuda berkulit pucat yang berdiri mematung melihat sosok yang ada di dalam foto. "Aku ingin kau melakukan sesuatu-" ujar lelaki itu keji.

.

.

Flashback

Sai menatap bocah berambut abu-abu gelap didepannya dengan senyum cerah. Shin, teman pertama sekaligus satu-stunya yang ia miliki tengah bebincang mengenai gambar yang dirinya buat di kertas kusam. Mengagumi gambar sederhana namun indah yang di buat oleh anak berusia 6 tahun tersebut.

"Sai, kau sangat pintar menggambar. kau pasti cocok dan bisa menjadi seorang pelukis. Suatu saat nanti aku ingin melihat lukisanmu yang indah." ujar anak itu dengan senyum secerah mentari.

Masa kanak-kanak yang menyenangkan dalam wilayah kumuh tempat mereka yang terlantar berkumpul. Nonou Yakushi, wanita yang menjadi ibu kepala tempat ia dibesarkan merawat mereka penuh kasih sayang, selalu ada senyum lebit di wajah wanita itu ketika menatap anak-anak yang bermain dihalaman panti yang berdebu. Namun senyum itu tak selamanya terlukis. Saat lelaki tua penuh perban itu datang dan mengambil Yakushi-kun, putra satu-satunya dari Nonou, senyum itu menghilang. Nonou, sosok yang sudah Sai anggap sebagai ibunya kini selalu menatap anak-anak panti dengan senyum sendu. Seberapa keraspun ia dan anak yang lainnya untuk menyenangkan hati sang Ibu, tak ada satupun yang berhasil melenyapkan kesedihan itu.

Sai kecil yang malang, dengan pemikirannya yang masih kanak-kanak ia membuat kesimpulan sendiri. Bila ia tersenyum maka sang ibu akan membalas senyumnya. Maka ia mulai memasang senyuman itu di wajahnya. Hari pertama ia sulit mengendalikan senyumnya. Hari ke tiga ia mulai terbiasa. setelah satu minggu ia bisa melakukannya tanpa harus memikirkannya. Minggu ke tiga itu menjdi kebiasaan barunya dan setelah sebulan ia mulai kesulitan memasang ekspresi lain selain senyum itu.

Shin, kakak angkatnya menyadari keanehan Sai. anak itu mulai berusaha membuat Sai memasang ekspresi lain tapi gagal. Senang, sedih, marah, kesal, kecewa semuanya diperlihatkan dengan senyum yang sama.

"Sai. Jika kau tidak bisa lagi mengubah ekspresimu maka terusah tersenyum, tapi teruslah melukis. Melukislah sesuai suasana hatimu. Sedih, senang, kesal, kecewa, marah. luapkan semuanya pada lukisanmu. Aku akan selalu bisa mengerti arti dari setiap gambarmu."

Kata-kata Shin saat itu melekat erat ke otaknya. 'Teruslah menggambar, aku ingin melihat lukisanmu suatu saat nanti.', 'Teruslah melukis, tumpahkan semua perasaanmu disana.'

Maka Sai terus menggambar, ia terus melukis. Nonou sangar senang akan lukisannya. Selalu ada rasa bangga di hati Sai ketika ia berhasil membuat sang ibu kagum dengan lukisannya. Ia mulai bisa menemukan impian dan kebahagiaannya.

Tapi semua kembali di hancurkan ketika lelaki penuh perban itu datang. Merebut dirinya dan Shin dari tangan sang ibu.

'Shin, Sai. Kalian adalah saudara. Apapun yang terjadi dimasa depan nanti. Kalian harus saling mendukung dan mendampingi. Ingatlah. Kalian adalah Saudara.'

Pesan terakhir sang Ibu sebelum mereka meninggalkan panti untuk selamanya menjadi tali kekang yang mengikat hubungan dua anak itu.

End Flashback

Empress of Uchiha FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang