BAB 1

6.9K 185 5
                                    

"Aku!"

"Tidak! Aku!"

"Aku."

"Aku!!"

Mata sepasang pria itu saling menatap tajam. Ribuan kilatan petir bersahut-sahutan dari mata mereka yang membara. Mereka bertolak pinggang saling menantang tidak ada yang mau mengalah. Kedua tangan mereka sudah menggenggam pedang mereka masing-masing.

"Hentikan! Sedang apa kalian?" Davies muncul dengan wajah panik. Ia cepat-cepat memisahkan dua pria yang hampir tak berjarak itu. "Apa yang kalian pikir sedang kalian lakukan!?"

"Jangan ikut campur!" Trevor dan Richie mendorong Davies.

"Kalau tentang Fulvia, aku harus ikut campur!" Davies berkata tegas, "Ia adikku."

Trevor dan Richie saling bertatapan.

"Kalian pikir aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kalian?" selidik Davies, "Aku sudah bosan mendengar pertengkaran kalian."

Davies duduk di kursi terdekat dan menyilangkan tangan di depan dadanya, "Silakan melanjutkan."

Telinga Davies telah terbiasa mendengar pertengkaran kedua pria itu. Matanya sudah tak heran melihat kedua sepupu itu beradu pandang dengan penuh kemarahan dan kecemburuan. Mulutnya sudah bosan melerai.

Entah sudah berapa ratus kali mereka bertengkar dalam minggu ini. Sudah ribuan kali dalam bulan ini dan mungkin jutaan dalam tahun terakhir ini. Tidak ada yang menghitungnya dengan jelas tetapi semua orang di tempat ini mendengarnya hampir setiap saat. Semua tahu apa yang mereka ributkan. Semua terbiasa dengan pertengkaran ini.

Sejak kecil kedua sepupu ini telah bertengkar memperebutkan sepupu mereka yang cantik dan manis, Fulvia. Andai Davies bukan kakak kandung Fulvia, mungkin ia juga ikut dalam perebutan ini. Untungnya, mungkin, Davies adalah kakak Fulvia, kakak kandung dan satu-satunya. Orang tua mereka semua tahu perebutan ini sejak mereka masih kecil sudah ada dan tambah parah tiap tahunnya. Tetapi, entah mengapa mereka bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar.

Orang tua Davies pun tak mau campur tangan. Mereka hanya tertawa melihat pertengkaran kedua sepupu itu dan berkata dengan tenang, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ayah Richie malah berpendapat unik. "Bukankah ini menarik?" katanya suatu ketika melihat mereka mulai bertengkar lagi.

"Untuk apa dipusingkan?" kata ibu Trevor ketika Davies mengeluhkan meningkatnya frequensi pertengkaran kedua sepupu itu akhir-akhir ini.

"Pertengkaran antar keluarga itu biasa," ayah Trevor malah berkata tenang.

Entah mengapa para orang tua dari ketiga keluarga ini selalu menganggap enteng pertengkaran mereka. Audrey, anak yang paling tua dalam ketiga keluarga ini juga tidak ingin campur tangan dalam perebutan yang kekanak-kanakan, dalam bahasanya, ini. Hanya Davies yang selalu turun melerai bila dua pria ini mulai bertengkar memperebutkan Fulvia.

Tapi akhir-akhir ini ia semakin malas. Pasalnya, mereka semakin sering bertengkar! Pertengkaran mereka tidak akan ada akhirnya hingga Fulvia memilih seorang di antara mereka atau mungkin Fulvia menikah dengan orang lain. Tetapi keduanya tampaknya mustahil. Setidaknya ketika Fulvia tidak menunjukkan minatnya pada seorang pria pun. Fulvia, adiknya yang manis, adiknya yang tercantik dan paling dikasihinya itu tidak pernah Nampak bersama pria lain selain kedua sepupunya atau dirinya sendiri. Bukan karena lingkungan pergaulan Fulvia penyebabnya tetapi karena kedua sepupu itu takkan membiarkan pria lain mendekati Fulvia.

Davies tahu sikap kedua sepupu itu pula yang menjauhkan kaum adam yang ingin mendekati Fulvia itu.

Sebenarnya, Davies tidak menyukai sikap kedua sepupu itu terhadap adiknya yang terlalu melindungi itu. Tetapi Davies juga tidak suka bila Fulvia didekati oleh pria yang hanya ingin mempermainkannya atau pria yang hanya tertarik pada kecantikannya saja. Di pihak lain, Davies tidak yakin Fulvia tahu kedua kakak sepupunya sering bertengkar memperebutkan cintanya.

Orang Ketiga (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang