"Apakah surga itu benar-benar ada?" Aku duduk di dahan pohon tertinggi, bersandar pada batang yang besar sambil menatap langit yang mulai berwarna oranye. Ini adalah sore terakhirku sebelum aku berumur tujuh belas, dan kemungkinan besar sore bebas terakhirku.
Alson, laki-laki seumuranku yang berdiri di beberapa dahan di bawah tiba-tiba memanjat naik dan memetik salah satu apel di sampingku. "Tentu saja. Bukankah sekarang kita sedang berada di surga?" Ia melingkarkan sebelah tangannya di batang pohon, sementara tangan satunya lagi memegang apel yang sudah ia gigit tanpa malu-malu di hadapanku, putri pemilik kebun apel terbesar di desa ini.
Ia sudah sering melakukannya. Mencuri apel tanpa sepengetahuan Ayah maksudku. Jika mengumpulkan total apel yang ia curi sejak ia lahir sampai sekarang, kurasa kita akan mendapat jumlah yang sama dengan setengah apel kebun ini.
Bukannya aku keberatan–setidaknya sekarang aku sudah mulai terbiasa–tapi aku tetap memberi tatapan mematikan yang tidak pernah mempan untuknya.
"Maksudku, surga yang sebenarnya." Menikmati pemandangan matahari terbenam di atas pohon bersama Alson memang merupakan hal terindah yang kurasakan. Tapi bukan itu maksudku. "Seperti ada kerajaan di atas awan, lalu istana megah, gaun-gaun indah, dan kekuatan magis yang keren."
Tawa Alson meledak. "Apa Clarice Alteron baru saja mengatakan soal gaun-gaun? Astaga, sepertinya telingaku terhantam setumpuk karung gandum atau ada ranting yang tersangkut di otakmu sehingga–whoa," Alson mengayunkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari tinjuku, masih tidak berusaha menghentikan tawanya.
Aku menatapnya cemberut. Aku memang tidak pernah menggelung atau mengepang rambutku seperti gadis-gadis lain di desa. Aku juga selalu memakai jubah bekas kakak laki-lakiku. Tapi aku masih gadis biasa yang tidak menolak gaun. Tapi bagaimanapun juga, aku masih seorang gadis, dan kadang Alson sengaja melupakan fakta itu. Ini membuatku kesal.
Yeah, kami memang bersahabat sejak kecil. Tapi tidak bisakah sekali-kali ia melihatku sebagai seorang gadis?
"Apa salahnya seorang gadis yang memikirkan gaun?" Bagaimanapun juga, sebentar lagi aku akan berumur tujuh belas, dan aku bakal lebih banyak berhadapan dengan gaun-gaun. Lalu aku harus memulai kursus singkat bersama ibuku agar aku bisa memasak, menjahit, dan dan berjalan dalam satu garis lurus.
Hanya karena aku sudah berumur tujuh belas, umur di mana para gadis siap untuk menikah. Setidaknya begitulah tradisi di desa kami.
"Ayolah, tidak ada gadis yang memanjat pohon," kekeh Alson. Sebelah tangannya masih melingkar di batang pohon tempatku bersandar.
Sadar kalau perkataan Alson ada benarnya, aku berdiri di atas dahan seukuran betisku, lalu ikut berpegangan pada batang pohon dan mengayunkan tubuhku dengan mulus sampai wajahku tepat berhadapan dengannya. "Kubilang ayahku kalau kau mencuri apelnya," ancamku dengan senyuman miring. Aku tahu ini terdengar kekanakan. Tapi beginilah kami.
"Oh, tentu saja." Alson malah menyeringai. Yeah, aku sudah sering memberinya ancaman semacam ini ketika aku kesal, tapi aku tidak pernah benar-benar mengadukannya.
"Aku serius kali ini." Aku berusaha memasang ekspresi seserius mungkin.
Tapi Alson malah mendekatkan mulutnya ke samping telingaku, hingga aku bisa mencium bau sabun murah bercampur keringat akibat pekerjaan mengangkat barangnya, lalu ia berbisik jail, "Bilang saja."
Mendadak terdengar suara beberapa orang yang sedang bercakap-cakap dari kejauhan. Aku menolehkan kepalaku, mendapati Ayah, Ibu, beserta dua pemuda lain sedang berjalan sambil membahas sesuatu sambil sesekali tertawa. Lalu aku kembali melirik Alson dengan penuh kemenangan. Ha, mati kau.