Aku tahu aku tidak bisa menghabiskan waktu seharianku di dalam kamar, setelah melompat-lompat di atas tempat tidur yang jauh lebih empuk dan tiga kali lipat lebih besar dari tempat tidurku di Bumi, berendam di bak kaca kamar mandi penuh busa dan kelopak bunga, dan mencoba seluruh pakaian di dalam lemari raksasa (yang semuanya adalah gaun, bayangkan), lalu memutuskan memakai gaun biru muda selutut berlengan pendek dan bernapas lega setelah membuang korset dan gaun ketat merah muda yang menyiksa itu. Aku tidak tahu apa bahan gaun biru ini, yang pasti ia seringan bulu, dan tidak menekan paru-paruku walaupun pas badan.
Jadi, setelah memakai sepatu yang berwarna senada dengan gaunku dan membiarkan rambut coklatku tergerai, aku memutuskan untuk keluar dari kamar, sebelum mataku menangkap pemandangan pepohonan yang berasal dari balkon. Tergoda, aku membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon, kemudian setengah berlari ke pagar balkon sambil menarik napas dalam-dalam ketika bau segar khas pepohonan memasuki hidungku.
Menyaksikan pemandangan matahari terbenam dengan puncak pepohonan di sekitar balkon, mau tidak mau aku teringat pada Alson.
"Apa kira-kira yang kau lakukan di sana? Apa kau tetap berada di atas pohon apel Ayah seperti biasa? Mencuri apel, dan lebih merasa leluasa tanpa kehadiranku?" seruku, tidak jelas kepada siapa. Kemudian aku menertawakan kebodohanku sendiri. Alson jelas tidak akan mendengarnya. Barangkali ia sedang bermain-main dengan ketapel yang tidak pernah sampai di tanganku.
"Coba tebak, aku akan bersekolah lagi," dengusku lagi, membayangkan apa reaksi Alson jika mendengarnya. Pasti ia bakal mengejek sambil menertawakanku, 'Kau? Sekolah lagi? Setahuku kata 'Clarice' dan 'sekolah' tidak pernah bisa membentuk sebuah kalimat yang bagus sejak kau nyaris membakar buku sekolahmu gara-gara kau tidak bisa menghapalnya.'
"Kau yang menyarankan padaku untuk membakarnya, sebelum Ibu memergokiku memegang korek api di depan tumpukan buku lalu memarahiku," dengusku lagi. Bagus, aku mulai berbicara sendiri.
"Aturan pertama setelah kau berada di Godios adalah, kau tidak boleh memikirkan kehidupan lamamu di Bumi." Aku menoleh dan mendapati Lily menatapku dari pintu kaca sambil melipat lengannya. "Aku mendengar semuanya," lanjutnya samba berjalan ke sampingku. Ia masih memakai gaun ketat hijau tua, yang membuat tubuhku seolah tampak seperti remaja yang baru puber.
Aku memalingkan wajah dengan malu. Kepergok berbicara sendiri dengan tampang bodoh oleh kakak perempuan yang berpenampilan jauh lebih keren darimu adalah hal terakhir yang akan kau inginkan di segala dunia.
"Bagaimana kau bisa melupakan kehidupan lamamu di Bumi?" tanyaku.
"Aku tidak melupakannya. Aku hanya tidak memikirkannya. Bagaimana pun juga, itu sudah berlalu selama hampir sepuluh tahun yang lalu," jawabnya santai.
Aku membelalakkan mataku. "Hampir sepuluh tahun? Memangnya berapa umurmu?"
"Baru dua puluh enam. Jangan memasang tampang itu. Usia kita bahkan bisa dibilang sebaya. Kau akan lebih terkejut ketika mengetahui usia Papa dan Mama."
"Oke," aku menarik napas, "aku tidak akan terkejut lagi."
"Papa 419 tahun, sedangkan Mama 381," tuturnya, sesantai ketika ia mengatakan kalau jarak sembilan tahun itu sebaya. "Kau harus berusia minimal tiga ratus tahun untuk mendapat posisi Raja."
"Kau bercanda," kataku dengan mulut terbuka lebar. "Kita tidak mungkin hidup selama itu."
"Tapi inilah faktanya," ucapnya. "Oleh karena itulah aku ingin kau mengetahui segalanya tentang dunia ini. Ayo."
Lily menarik pergelangan tanganku menuju pintu kamar, lalu kepalanya mengintip ke luar pintu sebentar sebelum menyeretku keluar dari kamar. Aku tidak bercanda, dia praktis menyeretku di sepanjang koridor.