13. Present

126 26 41
                                    

~~~~~

"Ini soal cinta sejatimu. Wyne sudah memberiku kabar."

Oke, seharusnya aku bersikap tidak acuh dengan ini, tapi entah kenapa jantungku mulai mempercepat kinerjanya lagi. Aku yakin Lily akan menyebut nama Alson, karena semuanya sudah jelas. Dan aku akan mengadukan Fos pada semua orang karena ia telah mencoba menipuku, walau tidak berhasil sama sekali.

"Jonathan Fos," katanya. "Cinta sejatimu memang Jonathan Fos."

~~~~~

"Aw!" Astro meringis, menopang tubuhnya yang terbaring di atas tanah dengan siku sambil mengelus bagian bawah rahangnya. "Apakah ini pelampiasan rasa rindumu yang ekstrim?"

Pagi itu, ketika aku melihat sosok Astro yang akhirnya muncul di halaman istana dari balik jendela kamarku, aku praktis melompat dari balkon kamarku dan memanjat turun lewat pohon, menerjangnya sampai terjatuh, kemudian langsung meninjunya tanpa basa-basi.

"Yeah, seharusnya aku mencincangmu juga seperti yang nyaris dilakukan Lily padamu dulu. Ingat, kan?" dengusku sambil bangkit dan berkacak pinggang.

Astro tersenyum gugup sebelum bangkit perlahan. "Jadi kau sudah tahu."

"Dan kau pasti tahu konsekuensinya," geramku. 

Aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah ini. Sebenarnya ini di luar bayanganku. Tapi, sejak Lily berkeras kalau cinta sejatiku adalah Fos dan itu tidak mungkin bisa diubah, emosiku semakin kacau. Aku marah pada siapa pun yang seenaknya menentukan cinta sejatiku. Aku marah pada kenyataan kalau Alson itu bukan bangsa dewa seperti yang kuharapkan selama ini. Ditambah lagi dengan kenyataan kalau aku satu-satunya perempuan yang memiliki kekuatan, sehingga orang-orang menanggapku seolah bisa meledak kapan saja.

Well, mungkin mereka benar.

Karena itulah, ketika aku melihat Astro, akhirnya aku menemukan seseorang yang paling tepat untuk kulampiaskan emosiku.

Salah dia sendiri karena pernah menyakiti kakakku.

"Ayolah, Clare." Ia menggeleng pelan.

"Alectra."

"Clarice Alectra, itu sudah lama sekali," lanjutnya sambil memandangku seolah segala  perbuatannya dulu merupakan sesuatu yang wajar.

"Untung bagimu. Kalau saat itu aku berada di sana, kau bakal jadi dewa kedua yang mati."

Astro berdecak dan melangkah mendekatiku. "Kalian tidak bisa menyalahkanku sepenuhnya. Aku ini kan hanya pria normal yang juga berusaha mencari cinta sejatiku."

Tar!

Aku menjentikkan jariku ke dadanya, mengalirkan ledakan petir kecil hingga Astro terhuyung mundur sambil memegang dadanya dengan wajah terkejut.

"Kau berkembang pesat," komentar Astro.

Aku tersenyum puas. "Ingat apa janjiku setelah aku bisa mengendalikan kekuatanku?"

Astro terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Baiklah, jika itu maumu." Ia mengedipkan matanya, kemudian mengeluarkan sebuah tabung hitam kurus kecil sepanjang kepalan tangan dari balik jubahnya. Ketika ia menggenggam tabung itu di samping tubuhnya, sebuah kilatan muncul dari ujung tabung tersebut, memanjang dan membentuk petir yang menyala biru keperakan. 

Sialan, dia punya senjata.

Tanpa memberi aba-aba, Astro mengibaskan pedang petir itu ke arahku, nyaris membelah tubuhku--seandainya tubuh dewa bisa terbelah--jika aku terlambat menjatuhkan diri ke belakang. Masih dalam posisi terbaring, aku menendang kaki Astro, yang ia hindari dengan mudah, kemudian aku mencengkram kedua pergelangan kakinya dengan sentakan petir hingga  akhirnya ia ikut terhempas ke atas tanah.

The Sign (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang