~~~~~
"Ayolah, Bu. Apa setelah ini kau akan mengatakan kalau aku adalah keturunan bangsawan yang hilang?" Aku menatapnya sambil tersenyum geli.
"Tidak, Clare." Ibu menyentuh pundakku dengan wajah serius. "Tapi kau adalah keturunan dewa."
~~~~~
Biasanya keluarga-keluarga yang lebih kaya dan humoris akan menyiapkan kejutan atau drama kecil di hari ulang tahun anak mereka. Olive pernah bercerita, ketika ia terbangun di hari ulang tahunnya yang ke-17 kemarin, seorang peri biru–yang diperankan oleh ibunya sendiri– duduk di atas tempat tidurnya dan membawanya keliling kota seharian hingga hingga berakhir pada pesta mewah di rumahnya.
Tapi kami bukan jenis keluarga yang seperti itu. Dan kalau pun iya, tidak mungkin Ibu menyewa dua wanita yang sangat mirip denganku.
"Tidak mungkin," gumamku tidak percaya ketika seorang wanita bergaun hijau lembut menghampiriku dengan berseri-seri ketika aku memasuki ruang tamu. Ia memiliki mata yang besar, bibir tipis, dan rambut coklat lurus persis sepertiku. Rasanya aku seperti melihat bayangan masa depanku.
Tiba-tiba wanita itu menghambur ke pelukanku sebelum aku sempat menyadarinya. Aku hanya bisa berdiri mematung ketika mencium bau khas daun dan rerumputan yang samar dari tubuhnya. "Clarice, putriku yang cantik," bisik wanita itu.
"Aku ibu kandungmu. Dan ini Lily, kakakmu," lanjut wanita sambil menunjuk wanita bergaun hijau tua yang kini berdiri di samping kami. Dengan bulu mata lentik, bibir yang jauh lebih penuh, rambut coklat bergelombang, dan gaun ketat yang memperlihatkan lekukan tubuhnya, Lily tampak seperti diriku versi... (apa seksi merupakan kata yang tepat?)
"Tidak mungkin," ulangku lagi. Wanita itu terlalu muda untuk menjadi ibuku.
Aku melirik keluargaku–maksudku keluargaku yang selama ini kukenal–yang berdiri di sudut ruangan, menonton dengan wajah tegang dan pucat. Bisa kulihat mata Ibu mulai berkaca-kaca.
"Dan apa tujuan kalian ke mari?" Aku menatap kedua wanita itu tidak senang. "Apa kalian bermaksud mengatakan kalau kalian menitipkanku di sini ketika bayi, lalu sekarang saatnya untuk menjemputku?"
"Memang begitu," sahut Lily.
"Ini gila!" teriakku. "Apa kalian tidak memikirkan bagaimana nasib orang tua yang merawatku?"
"Aku mengerti perasaanmu. Kau pasti terkejut, marah, dan kecewa pada kami karena merasa telah ditelantarkan," kata Lily. "Dulu aku juga sepertimu. Menyalahkan orang tua kandung kita dan sebagainya. Tapi sebelum kau mengamuk—"
"Sebelum aku mengamuk? Aku sedang mengamuk sekarang!" Petir bergemuruh di luar hingga lampu gantung di atap ruang tamu sedikit bergetar. "Aku tidak peduli kalian bangsa dewa atau apa, tapi kalian tidak berhak melakukan ini padaku, apalagi pada orang tuaku." Aku menekan kata terakhir sambil melirik Ibu yang mulai terisak sekarang.
"Clare," panggil si Wanita-'Aku-Ibu-Kandungmu' dengan cemas (aku tahu panggilan ini tidak sopan, tapi aku masih sulit menerimanya). "Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Semua ini ada maksudnya."
"Jadi apa?" tanyaku tak sabar. Aku sudah bosan dengan kata-kata semacam 'semuanya demi kebaikanmu', seolah mereka selalu benar dan aku hanya anak kecil yang mengamuk tidak jelas.
"Clare, dengarkan kata ibu kandungmu. Kau harus kembali pada keluargamu yang sebenarnya." Ibu mendekatiku dan berbisik dengan suara serak.
Aku menatap Ibu tidak setuju.