~~~~~
Akhirnya aku merasakannya, ledakan-ledakan kecil yang terasa hangat di sepanjang lengan kiriku. Aku memejamkan mataku lebih erat, membayangkan ledakan itu berbentuk petir-petir kecil berwarna kebiruan, dan menyadari kalau sumber energi tersebut berasal tepat dari tanda petir hitam di lenganku.
Aku sudah mengumpulkan seluruh kekuatanku di sana. Tapi aku bingung bagaimana cara menggunakannya.
Selama beberapa saat aku hanya tetap berkonstentrasi, mempertahankan energi tersebut, sampai sebuah suara berat familier memasuki kepalaku.
"Clare?"
~~~~~
Aku pasti sudah gila.Aku terus mengulang kalimat itu di dalam pikiranku, sejak melompat berdiri di halaman belakang istana tadi, kemudian dengan gemetaran meninggalkan Astro yang kebingungan, walaupun ia memanggilku dan terus menanyakan apa yang terjadi. Ketika ia masih terus menggangguku hingga malam, akhirnya aku menjawab kalau aku hanya kelelahan dan mengusirnya keluar dari kamarku. Astro hanya menyipitkan matanya curiga, tapi akhirnya ia pergi.
Tentu saja, tidak mungkin aku mengatakan, "Hei, ingat ketika aku tercebur ke kolam petir kemarin? Sebelumnya aku sempat mendengar suara yang entah muncul dari mana, dan itu adalah suara cowok yang kucintai di Bumi. Dan tebak, aku mendengar suaranya lagi tadi. Padahal dia manusia. Tapi semua kejadian ini amat sangat normal, iya, kan?"
Apa ini efek samping dari kekuatan yang mengalir di tubuhku? Apa jika kekuatan mengalir di tubuh perempuan, maka akan menimbulkan gejala-gejala halusinasi tertentu, oleh karena itulah perempuan tidak bisa memiliki kekuatan?
Kalau memang begitu, ini tidak adil, deh. Kenapa harus selalu aku?
Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal yang lembut ketika mendengar suara pintu kamarku dibuka. Kebutuhan tidur para dewa memang lebih sedikit dari manusia biasa—bahkan Papa pernah bercerita kalau ia tidak tidur selama dua minggu ketika harus mengawasi proyek badai petir di Venezuela. Tapi tidur tetap merupakan kegiatan yang paling nikmat.
"Aku sudah bilang kalau aku lelah dan butuh tidur seminggu!" teriakku ketus dari dalam bungkusan selimut.
"Oh, akhirnya kau memutuskan untuk membolos sesi latihan juga?"
Aku menyingkap selimut hijau muda tebal itu dan menatap Lily yang melipat tangannya di samping tempat tidurku.
"Bukannya aku memprotes." Lily mengangkat bahunya. "Ayo, Mama menyuruhmu bersiap."
"Bersiap untuk apa?" Aku mengernyitkan alisku sambil menegakkan punggung.
Lily mengedipkan sebelah matanya. "Makan malam."
Di Bumi, makan malam bersama keluarga merupakan hal yang wajar. Tapi kau tidak memiliki patokan waktu khusus untuk makan di Godios, dan terlebih lagi, tidak pernah ada acara makan malam sekeluarga di sini.
Ketika aku menjelaskan itu pada Lily, ia menjawab, "Yeah, kecuali jika kau telah menemukan cinta sejatimu, maka aka nada makan malam khusus antara kedua keluarga."
"Apa?!" teriakku. "Jangan bilang Jon—Fos."
"Memangnya siapa lagi?" Ia menatapku seolah-olah aku aneh.
"Astaga!" teriakku lagi sambil menjambak rambutku. "Kalian mempercayai Wyne begitu saja? Aku tidak pernah bilang kalau aku menyukai Fos!"
Sekarang Lily menatapku seolah aku menjadi gila. "Tapi Fos bilang kalau dia mencintaimu," gumamnya sambil mengelus sedikit bagian bawah dagunya.