~~~~~
"Kau punya kekuatan," kata Papa. "Kau adalah satu-satunya perempuan yang memiliki kekuatan."
"Bukankah itu bagus?" kataku ketika melihat Papa yang sepertinya tidak gembira dengan kabar ini.
Papa menggeleng frustrasi. "Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bagus, Nak."
~~~~~
Aku tahu, jatuh ke kolam di acara pesta sendiri merupakan hal yang memalukan. Tapi aku tidak tahu kalau jatuh ke kolam kemudian mendapat kekuatan dari kolam itu merupakan sesuatu yang mengerikan.
Karena sekarang, Papa dan Mama membawaku ke istana Raja Wison--Dewa kebijaksanaan--sementara membiarkan Astro menangani tamu-tamu cemas di pesta. Astro pantas mendapatkannya, karena kalau ia tidak berusaha menarikku, aku tidak akan melawannya, dan aku tidak akan tercebur ke kolam.
Dan aku juga tidak akan duduk di ruangan besar yang dikelilingi rak buku menjulang ke atap, yang membuatku merasa seperti terperangkap di dalam buku--ini bahkan lebih parah dari sekedar berada di dalam perpustakaan--di depan sebuah meja besar yang dengan permukaan berbentuk perkamen, dengan seorang pria muda berambut putih dan berkacamata yang menatapku intens.
Kalau bukan Papa dan Mama yang mencengkram erat lenganku seolah aku adalah tahanan yang berusaha kabur, mungkin aku sudah tertawa karena membayangkan koleksi wig putih Raja Wison. Dan saking tegang dan pucatnya kedua orangtuaku, aku bahkan tidak sempat menikmati perjalanan singkat kami tadi ke sini menaiki unicorn.
Raja Wison bukannya tampak aneh dengan rambut putih panjang dan jenggot putih dengan warna serupa, walaupun tidak terdapat sedikit kerutan pun di wajahnya yang seharusnya cocok dengan warna rambutnya. Tapi dengan tatapan tenang dan meneduhkannya, ia tampak seolah mengetahui segala hal, dan kau akan merasa bisa mempercayai semua perkataannya.
Tidak heran, Raja Wison adalah Raja Dewa Kebijaksanaan.
"Jadi, rupanya Sang Pertanda telah tiba." Raja Wison menyentuh lengan kiriku dan mengangkatnya ke atas meja sehingga Mama dan Papa spontan melepaskan cengkramannya di lenganku. Kemudian Raja WIson mengamati simbol petir hitam di balik lenganku dengan seksama, seolah itu adalah semacam temuan baru yang menarik.
"Siapa namamu, Nak?" tanyanya dengan suara rendah. Kukira ia sudah tahu.
"Clarice Alteron," jawabku spontan. "Maaf, maksudku Clarice Thunderson," ralatku buru-buru.
"Ah, Clarice. Nama yang bagus. Kudengar hari ini pesta penyambutanmu. Maaf aku tidak menghadirinya." Raja Wison tersenyum. "Kau pasti belum tahu banyak tentang kisah-kisah dunia kita. Well, aku akan menceritakan sekilas padamu sebelum kita membahas tanda hitam di balik lenganmu yang tidak wajar."
Tiba-tiba jantungku berdetak dengan cepat. Ketika Raja Wison mulai bangkit dari kursinya, aku buru-buru menurunkan tanganku ke bawah meja, meremas gaunku yang sudah mengering dengan cepat untuk menyembunyikan kegugupanku.
"Ada empat dunia besar di kehidupan ini," kata Raja Wison sambil mengambil sesuatu semacam tongkat ramping sekitar tiga puluh senti dari sela-sela buku yang tersusun di rak. "Godios, Ancher, Inferium, dan Bumi."
"Aku sudah membaca yang itu," sergahku, tanpa bisa menahan diri, yang membuat Mama menyenggol lenganku dan memberi tatapan peringatan, sehingga aku buru-buru menunduk dan pura-pura memasang wajah malu. Masa aku dibawa dengan heboh ke sini hanya untuk mendengar kembali tentang itu?
Tapi Raja Wison hanya berbalik menatapku dan tersenyum. "Bagus sekali." Ia kembali menghampiri meja perkamen, lalu duduk di atas kursi kayunya. "Apa kau juga tahu sesuatu tentang Dewa Ramalan?"