14. Present (2)

123 24 43
                                    

~~~~~

Bungkusan itu terasa berat saat kuangkat. Aku memasukkan tanganku ke dalam bungkusan, dan merasakan telapak tanganku menyentuh permukaan besi yang dingin. Ketika aku mengeluarkan isi bungkusan itu, aku terkesiap.

Itu adalah busur, lengkap dengan sebuah tabung panjang berisi panah.

~~~~~

Aku membetulkan posisi tabung panah yang kupikul di bahuku, menghindari tatapan tertarik semua orang di halaman kastil yang kini disulap menjadi arena duel, kemudian berjalan ke arena sambil menimbang-nimbang busur di tanganku yang ternyata jauh lebih ringan dan sepertinya lebih pendek dari yang kuingat.

Ini sih bukan sedikit modifikasi.

Hari ini adalah latihan duel terakhirku dengan Astro, sebelum aku mulai masuk sekolah besok dan harus menunggu enam bulan lagi untuk melanjutkan jadwal duel kami. Seharusnya aku gembira karena duel kali ini akhirnya aku memiliki senjata. Kalau saja Papa tidak memutuskan kalau duel kali ini harus ditonton semua orang, dan ia memaksa satu istana untuk mengambil tempat duduk yang telah disusun di tengah halaman kastil, mengelilingi arena.

Aku yakin Papa hanya ingin memamerkan senjata yang telah ia modifikasi pada orang-orang, karena sedari tadi ia terus menunjuk busur yang kugenggam sambil berbisik semangat pada Raja Light di sampingnya sambil menirukan gerakan memanah dan busur yang melesat, sebelum Mama menyenggolnya dengan tatapan tajam.

Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan jika sesi latihanku ditonton banyak orang. Tapi yang menjadi masalah adalah, Fos juga hadir. Entah kenapa aku tidak senang melihatnya.

Aku membenturkan pergelangan lenganku pada pergelangan lengan Astro dengan posisi silang di tengah kami—tradisi sebelum duel dimulai—kemudian menghela napas malas ketika Fos melambai padaku.

"Manisnya, cinta sejatimu," bisik Astro geli.

Sejak perkelahian pertama kami, ketika Astro akhirnya berhasil meyakinkanku kalau kita tidak bisa menjadikan informasi dari Dewa Cinta sebagai patokan asrama kita, aku mulai bisa memaafkan semua perlakuannya—tanpa sepengetahuan Lily, tentunya. Aku cukup tersentuh karena hanya Astro yang bisa memahami kalau aku membenci Fos dan tidak menyalahkanku sama sekali---kecuali mengingat fakta kalau ia selalu menjadikan hal itu untuk menggodaku.

"Diam, Astro," desisku. "Kali ini kau akan mati, karena aku punya senjata."

Dulu, ketika di Bumi, aku pernah berlatih busur sekali dua kali, ketika Alson membuatkanku busur sederhana dari kayu yang cukup lentur dan memahat beberapa panah kasar untukku. Tapi biasanya busur itu akan langsung patah setelah dua hari digunakan. Alson menuduhku terlalu barbar, tapi aku membela diri dengan mengatakan kalau busur itu yang tidak cukup kuat. Setelah itu Alson tidak pernah membuat busur untukku lagi, dan aku benar-benar menyesal.

Tapi Papa bilang busur yang ia modifikasi ini bakal hebat, bahkan bagi orang yang tidak pernah memakai busur sekalipun. Jadi aku cukup percaya diri kali ini.

Astro terkekeh ketika mendengar ancamanku. Ia melambaikan tangannya dengan sikap remeh, kemudian bergerak mundur sambil mengeluarkan tabung hitam kecilnya hingga sebuah petir biru keperakan muncul di atas tabung yang ia jadikan pegangan tersebut.

Aku sendiri juga bergerak ke ujung arena, semakin percaya diri ketika angin mulai mengibarkan jubah dan rambutku---aku pasti tampak keren, mengutip kata-kata Papa. Setelah membalikkan tubuhku menghadap Astro, aku mengangkat busur, mengambil sebatang panah dari balik bahuku, kemudian menarik panah itu ke arahnya sambil menyeringai sombong.

Pedang melawan busur, sudah jelas siapa yang lebih aman.

Tepat ketika aku melepaskan panah, Astro langsung berlari menghampiriku, bergerak ke samping untuk mengindari arah panah yang melesat, tapi mendadak berhenti untuk menepis panah tersebut dengan pedangnya ketika batang besi kurus itu nyaris saja menusuk jantungnya. 

The Sign (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang