~~~~~
"Kau menyuruhku memanjat pohon dengan gaun ini?" ucapku dengan nada tinggi. Bukannya aku tidak berani, tapi aku tidak pernah memanjat dengan gaun sebelumnya.
Tepat ketika aku menarik tubuhku ke atas, tiba-tiba dahan pohon yang kugenggam patah. Kemudian aku kehilangan keseimbangan dan kedua kakiku terjatuh ke udara kosong.
"Clare!" Aku mendengar suara teriakan dari bawah. Tidak yakin itu suara siapa, karena perhatianku kini teralihkan pada sebuah kilat menyambar dari langit. Menuju tepat ke arahku.
~~~~~
Aku melangkahkan kakiku perlahan, tidak tentu arah. Sekelilingku gelap, dan aku tidak bisa melihat apa pun. Tapi aku yakin kalau aku berada di kebun apel Ayah ketika merasakan rumput empuk yang menggesek telapak kaki telanjangku.
Sebuah titik cahaya muncul dari kejauhan, menampakan siluet kekar seorang pria yang sudah sangat kukenali. Aku menyeringai lebar, menghampiri sosok tersebut ketika wajahnya mulai terlihat jelas. Tatapannya tajam menatapku, tapi entah bagaimana aku bisa merasakan kelembutan di balik tatapan itu.
"Clare." Sebuah suara berseru. Aku menoleh untuk mencari sumber suara, tapi tidak menemukan siapa pun. Rasanya suara itu seolah bergema di pikiranku. Aku tidak yakin siapa pemilik suara itu. Yang jelas, itu bukan suara Alson.
Berusaha mengabaikan suara itu, aku kembali memutar tubuhku pada Alson. Tapi Alson tidak berada di sana lagi.
Sekarang yang berdiri di hadapanku adalah Jonathan.
"Seharusnya bukan kau." Aku menatapnya tidak senang.
"Tapi ini aku," katanya, memandangku penuh harap.
"Tidak," balasku. Rasanya aku ingin menendangnya jauh-jauh.
Tapi sebelum aku sempat melakukannya, semuanya menjadi gelap lagi, dan aku kembali sendirian.
***
"Kau membawanya pulang? Di mana Clare?"
"Sshh.."
"Clare? Apa dia di dalam? Apa Clare di dalam?"
Suara pintu yang dibuka dengan kasar mengagetkanku hingga terbangun. Jadi yang tadi itu hanya mimpi.
"Clare!" seru seorang wanita sambil berlari memelukku. "Syukurlah kau baik-baik saja."
Aku mengerjap bingung, menatap wanita berambut sewarna denganku selama beberapa saat, dan nyaris mengira kalau wanita itu salah orang sampai ingatanku mulai terkumpul. Wanita itu ibu kandungku.
Dan aku masih belum terbiasa.
"Sudah kubilang, Mama, kalau Clare akan baik-baik saja," kata Lily sambil memasuki kamarku yang luas, menapaki lantai marmer dengan anggun.
Tunggu. Kamarku tidak luas. Dan tidak ada lantai marmer di rumahku.
"Sudah kubilang juga." Seorang pria berjas necis dan mewah mengikuti Lily dari belakang. Pria itu memiliki rambut yang lebih pirang, dengan mata coklat bersahabat dan senyum yang santai.
"Halo, Clare," sapa pria itu sambil duduk di pinggir tempat tidur, di samping ibu kandungku. "Bagaimana perasaanmu?"
Alih-alih menjawabnya, aku menegakkan punggungku dan bertanya, "Di mana aku?"
Pria membentangkan tangannya sambil tersenyum lebar. "Selamat datang di rumah."
Rumah?
Sepertinya ekspresiku sudah cukup menyuarakan pikiran di kepalaku, karena pria itu langsung menambahkan, "Yeah, rumah." Lalu ia duduk di ujung tempat tidurku. "Apa ibumu belum memberitahu kau adalah putri Raja Thunderson, Raja Dewa Petir paling keren di Godios?"