~~~~~
"Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan ramalan. Jangan membiarkan itu membebanimu. Kau bukannya dilatih untuk persiapan perang atau semacamnya. Kau hanya Sang Pertanda, perempuan keren yang memiliki kekuatan, titik," lanjut Papa sambil menepuk pundakku santai. Sepertinya ia salah menangkap ekspresiku. Padahal aku sendiri nyaris melupakan sajak ramalan itu. Rasanya seperti sudah berabad-abad yang lalu.
Tapi entah kenapa, setelah Papa mengatakannya, mau tidak mau aku jadi memikirkan itu. Apa bakal ada perang?
~~~~~
Kami menaiki mobil---jenis kendaraan bermesin yang dikendalikan dengan pikiran---ke sekolah. Aku pernah melihat kendaraan semacam ini sebelumnya, di Bumi. Tapi mobil di Godios tampak lebih tipis, dengan atap bening berbentuk setengah lingkaran, dan nyaris tidak bersuara. Walaupun beberapa kali menaiki kendaraan ini selama satu bulan tur kemarin, aku tetap lebih menyukai unicorn.
Naik mobil itu membosankan.
Jadi, karena tidak tahu apa yang harus kulakukan selama Mama dan Lily membahas jenis gaun yang tepat untuk pesta-entah-apalah, aku hanya bisa menyenderkan kepalaku ke kaca setengah lingkaran, dan menatap pemandangan sekitar jalan.
Pohon-pohon di tepi jalan tampak seolah bergerak mendekatiku, dari sebuah titik kecil yang lama-lama membesar hingga membentuk batang kokoh dengan daun-daun tajam berwarna hijau dan jingga. Sebelum aku sempat mengamatinya lebih jelas, pohon itu sudah melesat dengan cepat ke belakang dan menghilang, kemudian digantikan dengan pohon lain di depan.
Seperti setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Datang tiba-tiba, dan belum sempat otakku memproses semuanya, muncul kejadian lain lagi.
Rasanya kemarin Alson baru saja menghadiahiku apel—yang bahkan belum sempat kumakan—di malam sebelum ulang tahunku. Tapi kemudian ternyata aku adalah bangsa dewa dan harus kembali ke Godios. Lalu tiba-tiba saja aku adalah Sang Pertanda. Dan sekarang, aku harus bersekolah di Godios selama enam bulan.
Aku bahkan belum menyebut soal Dewa Cinta yang mengatur cinta sejatiku dengan Fos dan suara-suara Alson di kepalaku.
Bertelepati dengan manusia yang kau sukai, bukan masalah besar kalau kau adalah Clarice Alectra.
Aku menegakkan punggungku di jok belakang ketika barisan pohon di samping jendelaku mulai menipis, digantikan oleh tanaman semak yang dipangkas rapi. Di depan kami terdapat sebuah gerbang tinggi megah—mungkin tiga kali tinggiku—dengan pagar perak berhias sulur yang terbuka lebar. Beberapa mobil melesat ke dalam gerbang, dengan dua atau tiga ekor unicorn yang terbang di atasnya.
"Kenapa tidak ada unicorn di atas mobil kita?" tanyaku spontan.
"Kalau kau mau, kau bisa membawanya tahun depan," jawab Mama di kursi pengemudi.
Aku menyesal tidak membawanya tadi.
Kami mulai memasuki gerbang. Pemandangan pertama yang kulihat adalah taman bunga, dengan beberapa meja datar berbentuk kelopak bunga dan kursi-kursi daun di sekitarnya—atau kursi bercorak daun, entahlah. Kastil-kastil kokoh dengan berbagai ukuran dan bentuk menyambut kami, sebagian menumpuk di satu tempat, dan beberapa terpisah cukup jauh satu sama lain. Ada kastil batu dengan ujung runcing dan jendela tanpa kaca, kastil lebar yang lebih rendah dengan atap landai yang berkilau diterpa sinar matahari, kemudian kastil beton dengan atap terbuka. Aku menghitung total kastil yang kulihat. Tiga belas.
Halaman sekolah ini cukup luas. Di sisi barat sekolah ditumbuhi pepohonan lebat, seperti hutan kecil, memanjang sampai ke bagian belakang sekolah. Di sisi yang berlawanan, terdapat tanah kosong luas yang cukup gersang yang hanya ditumbuhi beberapa rumput pendek. Unicorn-unicorn yang terbang tadi mulai menapakkan kaki mereka di atas tanah, kemudian berjalan ke arah hutan dan menghilang di balik pepohonan.