~~~~~
"Karena kau memiliki kekuatan, berarti kau juga memiliki kewajiban yang sama dengan kaum pria lainnya. Kau harus mengubah nama belakangmu, sebagai simbol kemandirian bagi para dewa berkekuatan," lanjutnya.
Tiba-tiba aku mendapat ide bagus.
"Bagaimana dengan Clarice Alteron?"
~~~~~
Tentu saja mereka tidak mengizinkanku memakai nama itu. Semua hal yang berhubungan dengan kehidupan lama para dewa ketika di Bumi tidak diperbolehkan di Godios. Dan memakai nama belakang keluargaku di Bumi adalah tindakan yang lancang. Setidaknya itulah yang dikatakan Mama ketika ia melotot padaku di depan pintu ruangan Raja Wison.
Bahkan Papa juga tidak begitu menyetujuinya, lalu ia menyarankanku untuk mengambil nama Thundergirl—yang terdengar sangat menggelikan, kalau kau tanya aku.
Jadi bukan Clarice Thunderson atau Clarice Alteron lagi sekarang. Tapi Clarice Alectra.
Dan seperti kaum pria, aku juga akan dipanggil dengan nama belakangku. Alectra.
Kecuali Astro, yang berkeras untuk tetap memanggilku Clare, karena menurutnya itu lebih manis.
Menggelikan.
Sejak aku 'dinobatkan' sebagai Sang Pertanda, aku harus berkeliling Godios, mengadakan pertemuan terhadap ribuan dewa setiap minggunya bersama Papa dan Raja Wison, kemudian meyakinkan mereka kalau aku bukan monster terkutuk yang akan menghancurkan dunia dengan sambaran petir raksasa.
Bagus. Sekarang satu dunia mengenalku.
Atau mungkin dua dunia, karena terkadang ada beberapa kaum malaikat yang menghadiri pertemuan itu dan mewawancaraiku secara langsung.
Aku sempat menanyakan pada malaikat-malaikat itu, mana yang lebih baik antara Ancher dan Godios. Lalu salah satu malaikat wanita berambut emas dengan gelombang besar di atas poni menjawab jika mereka semua juga memiliki kekuatan seperti aku, Ancher adalah tempat yang terbaik. Tapi malaikat pria lain yang berambut biru gelap menimpali kalau seharusnya semua malaikat pria setidaknya memiliki sedikit kekuatan.
Sampai aku ditarik Papa menjauh, karena katanya pembahasan tentang keharusan para malaikat pria yang memiliki kekuatan merupakan topik yang cukup sensitif.
Tiga bulan pertamaku praktis dihabiskan untuk berkeliling Godios, hingga aku menyadari kalau Godios jauh lebih besar dari yang kukira, termasuk jenis-jenis dewa di dalamnya yang bahkan tidak bisa kusebutkan satu per satu. Dan Godios juga tidak sekuno yang kubayangkan, jika mengingat sebagian istana-istana berdesain modern yang kukunjungi selama ini dan sebagian di antaranya lagi memamerkan deretan mobil mewah alih-alih kuda bersayap.
"Kau adik Lily." Seorang gadis bertubuh mungil dan berambut hitam pendek menghampiriku sambil mengulurkan tangannya ketika aku berjalan di taman istana Evole.
Saat itu adalah malam sebelum hari terakhir tur kami, dan aku baru saja melakukan pertemuan besar yang panas dengan ribuan Dewa Api—serius, aku harus mengipas-ngipas dengan gerah di istana Raja Flameson walaupun sebenarnya aku hanya memajang diri di pertemuan dan membiarkan Papa dan Raja Wison yang menjelaskan semuanya—setelah menghadiri pesta-pesta yang sepertinya selalu ada minimal seminggu sekali. Kalau ada satu hal yang kutahu dari tradisi dan kebiasaan para dewa di Godios adalah, bangsa kami begitu suka berpesta dan berdansa. Kecuali aku.
Dan setelah aku menghadiri Pesta Hari Sabtu yang diselenggarakan oleh Elvina, putri Raja Light—Raja Dewa Cahaya—dengan setengah hati, Papa membawaku menginap di istana Raja Evole karena besoknya kami akan mengadakan pertemuan terakhir dengan ribuan dewa cinta, dewa kebijaksanaan, dan beberapa jenis dewa lainnya yang aku bahkan tidak ingat.