Apa kabar angin Losari? Masihkah meniupkan semilir rindu? Aah aku kangen jalan-jalan sore di pantai Losari, sambil memesan pisang epe dan berakhir nongkrong dengan gaya sok keren di Popsa. Yang harga segelas jus alpukatnya, dua puluh delapan ribu. Tapi pemandangan di belakangnya aduhai, dermaga-dermagaan ala Eropa. Mungkin sudah lebih canggih sekarang. Atau barangkali, sudah tak ada lagi.
Saat beranjak gelap, biasa kami numpang shalat di Masjid terapung. Saat itu masih baru dan masih dalam proses pembangunan, dengan kayu saling silang.
Sampai malam, dan menikmati angin malam kota Daeng. Kami menyusuri jalan-jalan. Ramai lalu lalang genk motor yang sedang eksis-eksisnya kala itu. Ah Makassar, tempat dimana hati pernah kutambatkan, demi menuntaskan dendam bernama "Kehilangan". Berharap menemukan yang ingin kutemukan. Berharap membunuh rasa yang ingin kutikam. Tapi, Makassar dan segenap pesonanya kembali mengajarkanku satu hal.
"Sejauh apapun kau pergi, selalu ada alasan untuk kembali, meski untuk secolek sambal terasi".
Wonderland, 12 Maret 2017
Julie
Yang merindukan Losari dan kenangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK
PoetryKumpulan sajak dan prosa tentang kehilangan, luka dan memulihkannya. Rasakanlah...