Kalian mementingkan ego masing-masing, keduanya saling menyalahkan. Haruskah aku yang pergi dari rumah dulu baru Mom dan Dad akan berhenti?
***
Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Aku tertidur setelah selesai mengerjakan tugas sekolah. Mataku menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar, kulirik jam dinding yang bersinar samar di sudut kamar. Ternyata masih menunjukkan pukul 23.00 WIB.
Aku terperanjat, "Hah?! Perasaan kayak udah lama banget gue tidurnya," ucapku keheranan, sambil menguap lebar.
Tiba-tiba, suara lentingan nyaring terdengar dari lantai bawah.
PRANG!!!!
Suara pecahan itu membuatku terlonjak dari tempat tidur. Aku menahan napas, tubuhku menegang, "Ada apa lagi sih!" desisku pelan sebelum buru-buru melangkah keluar kamar.
Saat aku mencapai lantai atas tangga, pemandangan yang familiar kembali menghantamku. Aku melihat Daddy dan Mommy lagi-lagi bertengkar. Astaga! di tengah malam seperti ini mereka masih saja menyempatkan diri untuk bertengkar.
"Masalah apa lagi sekarang, ya Tuhan!" aku memutar bola mata, merasa muak dengan semua ini.
Di ujung tangga, aku melihat Elisa mengintip dengan tubuh meringkuk sambil menutup telinganya erat-erat. Matanya terpejam ketakutan. Aku segera menghampirinya, membawanya ke pelukanku untuk meredakan tangisnya.
"Hei, it's okay, El. Kakak di sini," bisikku sambil mengelus punggungnya.
Sementara itu, di ruang bawah, suara mereka semakin memekakkan telinga.
"Kau yang asal menuduh kalau aku berselingkuh!" suara Mommy melengking penuh kemarahan.
Daddy tak mau kalah, suaranya bahkan lebih keras. "Sudah jelas banyak bukti yang beredar! Jangan mengelak fakta, Kenzie!"
"Kau selalu saja membicarakan Alex! Dia hanya teman, tapi kau terlalu paranoid!" ucap Mommy meluapkan emosinya.
Kata-kata mereka seperti pisau tajam yang terus-menerus menusuk dada, membekas dan meninggalkan luka. Daddy mengepalkan tangan. "Oh ya? Pergi bersama Alex seharian dan pulang di tengah malam begini? Kau pasti tidur dengannya!"
Suara tamparan keras memenuhi ruangan, menghantam pipi Daddy dengan kasar. Tubuhku menegang, mulutku terbuka, tapi taka da suara yang keluar. Mommy baru saja menampar Daddy.
Apa mereka tidak melihat kami di sini?
"Elisa, ke kamar kakak yuk!" bisikku dengan suara serak sedikit bergetar. Kali ini, aku menggendongnya. Tubuhnya yang mungil terasa begitu ringan di lenganku.
Kurebahkan tubuh mungil Elisa ke kasur, berharap ketenangan bisa datang dengan tidur. Elisa menarik bantal gulingnya, tangisnya masih belum mereda. Dadaku semakin penuh dengan rasa sesak. Aku tahu persis apa yang saat ini ia rasakan— ketakutan, kebingungan, dan kesedihan bercampur menjadi satu.
Aku duduk di samping Kasur. "El, tidur ya, ini udah malem," bisikku lembut, lalu memeluknya berharap bisa sedikit menenangkannya.
"Mom sama Dad nggak sayang El, ya?" suaranya parau sambil menggosok hidungnya, kulihat hidungnya yang memerah.
Aku menelan ludah, mencoba menahan tangis agar tidak semakin pecah. "Mereka sayang Elisa selamanya," jawabku dengan senyum kecil yang kupaksakan. Sebuah senyuman topeng, menutupi kenyataan pahit yang tak mampu kujelaskan pada adikku.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...