06 : Terlalu Berperasaan

7.3K 795 56
                                    

You come in close now, swear I can taste it,
You've got me tongue tied I can't escape it

I'm loving what you got
But then you push me off

--Don't Stop by 5 Second of Summer

.

"Dev—Deva, pacarnya Shira?" Dista mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Kebetulan yang menyenangkan, ya?" ucapnya sembari tersenyum.

Dista bangkit dari keterkejutan kemudian mengedikkan bahu sebelum berkata, "Kebetulan yang mengerikan." Lambat laun ia ingat bahwa kebersamaan mereka tidak terdengar bagus. "Lo sendirian, kan?" tanya Dista sembari menoleh ke kanan dan kiri, mencari mata yang mungkin saja mengenal Deva. Lebih tepatnya, Dista mencari kekasih Deva yang pencemburu itu.

"Yap. Lo tahu sendiri gue LDR sama Shira," sahut Deva sembari melapaskan masker dan bersandar pada kursi. Matanya kini sudah tertuju pada Atma yang tengah mengobrol dengan wanita berbaju biru muda.

"Tolong jangan kasih tahu dia kalau lo ketemu sama gue di sini," Dista mengembuskan napas panjang dan ikut melemaskan bahunya yang sempat tegang.

"Nah, itu ide bagus," Deva berjeda untuk menyeringai, "Gue selingkuh sama tetangga dari sepupunya Shira. Wow. Ternyata kita punya hubungan juga loh, meski tipiiis." Telunjuk dan jempol Deva hampir menempel—mencoba mencontohkan ketebalan ikatan mereka.

"Maksa abis," Dista memutar bola matanya malas.

Deva terkekeh mendengar dengusan Dista. "Kalau yang gue temui di sini adalah sahabat lo, mungkin dia akan bersyukur dan bergembira."

"Aduh plis, lo bukan oppa ganteng yang layak mendapat perhatian seperti itu."

Deva mengangkat bahu, matanya menghadap layar yang sudah menampakkan iklan-iklan sebelum film dimulai. Sebentar-sebentar, ia melirik ayahnya. "Yah, gue nggak akan punya kepercayaan diri seperti itu kalau nggak ada orang kayak temen lo yang heboh pas ketemu gue."

Selagi Deva sibuk dengan minumannya, Dista melirik mamanya. "Dan gue nggak heran kalau mereka langsung mundur teratur pas udah kenal betapa narsisnya diri lo ini."

"Kalau gue, nggak heran lo masih jomblo sampe sekarang."

"Issh," Dista mendesis kesal. Mengabaikan layar bioskop yang menunjukkan bukti lulus sensor. "Nggak usah menghina. Asal lo tahu, sendiri itu jauh lebih bahagia."

Deva bergumam, setuju akan pernyataan tersebut namun tak berniat menanggapi karena ingin fokus pada film Rings yang dikabarkan Lukas sangat menyeramkan. "Dis, lo termasuk cewek pemberani, ya? Nonton film setan sendirian, menjelang malem pula."

Kali ini pandangan Dista mengarah pada layar. "Film horor ap—hah?" matanya melotot kaget karena baru sadar ia memesan tiket film horor. Jujur saja, Dista sama sekali tak ngeh kalau Rings yang dia pesan adalah Rings yang ini. Mungkin fokusnya terlalu terpaku pada mamanya yang juga tampak tegang.

"Kayaknya lo nggak merencanakan nonton film ini?" Deva tersenyum melihat wajah tegang Dista. Lucu sekali. Kalau dia penakut, kenapa nonton film seram sendirian?

Dista semakin tegang saat suara menyeramkan terdengar. Pandangannya bahkan menoleh penuh kepada Deva, dan segera berbalik ke layar karena menemukan ekspresi mencemooh cowok tersebut. "Gue dapet tiket gratis dari temen," Dista mengutuk dalam hati. Kenapa juga mamanya mau menonton film seperti ini?

DisvawingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang