"Hari ini lo nggak bolos, kan?"
Dista memutar bola matanya sebal. "Bolos demi elo? Kerajinan banget."
"Abis, aneh aja gitu lo mau nemenin gue."
"Yaaa, kepengin aja." Hari ini guru-guru rapat, jadi para murid dipulangkan lebih cepat. Dista menyerahkan helm pada Deva dan melepas jaket untuk diletakkan di bagasi motor. "Gue nggak boleh ikut nih? Gue balik, ya?"
Deva tertawa. "Ya kali udah nyampe sini lo balik ke rumah."
Dista tersenyum dan menunjukkan jalan pada Deva. Gadis itu pernah ke kantor yang terletak di Jalan Tb. Simatupang ini beberapa tahun lalu, saat wisuda kakaknya. Benar, Ridha adalah lulusan BIFA. Jadi, sedikit-banyak Dista tahu. Tapi untuk saat ini Dista hanya benar-benar menemani Deva yang menyimak penjelasan informan. Setelah selesai, Deva memencet tombol lift untuk turun sementara Dista bergerak mendekati jendela besar di sisi lift.
Dia membayangkan bagaimana kalau mereka terjatuh dari sini, lantai 11. Hancur berantakan. Inilah yang membuat Dista benci ketinggian. Saat Dista hendak mundur menjauh, tiba-tiba sesuatu menempel di bahunya. Saat menoleh, ia mendapati Deva menyandarkan keningnya di pundak kiri Dista.
"Em, Dev? Kenapa?" tanya Dista, kaku.
"Kalau gue nggak lulus juga di test ini gimana, Dis?"
Ternyata Deva masih memikirkan ketidaklulusanya di ujian STMKG. Tanpa sadar, tangan kiri Dista mengusap sisi wajah Deva. "Nggak apa. Kan bisa ikut test untuk batch selanjutnya. Atau bisa coba di sekolah penerbangan yang lain."
Ting!
Lift terbuka, yang spontan membuyarkan momen singkat keduanya. Mereka langsung bubar dan masuk ke dalam lift dalam keadaan canggung. Setelah mengembalikan tanda pengenal pada resepsionis, mereka menuju parkiran. Baru saja Dista memasukkan tangannya ke lengan jaket, ponselnya bergetar. Dari Riana.
"Ada apa, Ri?" tanya Dista, dirinya ribet memakai jaket dengan ponsel yang terjepit diantara pipi dan pundak. "Hah? Iya, gue lagi sama dia. Kenapa emang?"
Merasa menjadi topik pembicaraan, Deva bersandar di motor dan diam mendengarkan Dista. Gadis itu mengambil helm yang dipeluk oleh Deva dan berusaha memakainya, tapi kesulitan. Akhirnya Deva mengambil kembali dan dibiarkan menggantung di lengannya.
"Weekend jalan berempat, yuk! Ada promo couple nih, mayan setengah harga."
Dista melirik Deva yang masih menatapnya. "Err, tapi gue sama Deva kan bukan couple."
"Ah, orang sananya juga nggak tau kali couple apa enggak!"
"Apaan?" Deva bergerak mendekat, bertanya dengan gerakan bibir.
"Riana ngajak jalan. Dia dapet promo couple gitu di tempat makan yang baru buka."
"Oh, ya udah yuk ke sana aja," sambut Deva.
Riana yang diam-diam mendengarkan percakapan Dista dan Deva langsung menyahut. "Tuh Deva nggak keberatan! Oke, hari minggu janjian jam empat sore, ya!"
Tut. Sambungan diputus secara sepihak.
Dista menatap sebal pada Deva yang memakaikan helm di kepalanya. "Kok lo main asal setuju aja sih? Emangnya hari itu gue bisa? Emangnya gue mau pergi?"
"Kenapa? Emang hari itu lo ada acara?" Deva menatap gadis itu setelah mengunci ikatan helm di sekitar dagu Dista.
"Enggak ada, sih...."
"Ya udah, kalau gitu kan nggak ada masalah." Deva yang sudah menyalakan motor menoleh karena Dista hanya diam. "Buruan naik."
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Disvawings
Teen Fiction"Kilau sayap kita yang berbeda ditakdirkan untuk mengepak bersama, menjangkau mimpi yang hampir padam ditelan keputusasaan." Dista gemar menulis, ngeri berada di tempat tinggi. Deva senang ketinggian, paling sulit berdiam diri untuk membaca. M...