30 : Memahami Rasa

4.5K 567 19
                                    

"Function room nya di lantai berapa ya, Mas?" tanya Deva pada staff Gramedia.

"Lantai dua, Mas," jawabnya ramah.

Deva, masih dengan kemeja abu-abu dan celana bahan hitamnya langsung menyantroni Dista yang tengah menghadiri launching novel penulis favoritnya. Dia tancap gas begitu ujian masuk BIFA berakhir. Setibanya di lantai dua, pandangan Deva menyapu sekitar. Mencari Dista yang mungkin saja sudah keluar dari ruangan.

Benar, perempuan itu sedang berdiri di salah satu rak buku.

"Kok launching bukunya di hari biasa, sih?" Suara Deva mengagetkan Dista, jelas terlihat dari matanya yang melotot. "Sori nggak maksud ngagetin," tambahnya sambil nyengir.

"Coba tanya sama pihak penerbitnya, deh," jawab Dista acuh tak acuh.

"Acaranya seru?" Deva mengikuti Dista yang mencermati judul dan cover buku.

"Lumayan. Walau nggak begitu banyak yang dateng," Dista membolak-balik novel terjemahan bercover menarik, Everything Everything. Lalu, pandangannya mengarah pada Deva. "Lo abis dari tempat ujian langsung ke sini? Kenapa nggak ganti baju dulu?"

"Sekalian jemput elo. Daripada pas pulang nanti ditanya-tanyain kenapa pergi lagi."

Dista manggut-manggut, entah karena ucapan Deva atau blurb novel. "Bagus."

"Hah, bagus apanya?" Deva mengikuti arah pandang Dista. Terpaku pada novel dengan paduan biru dan putih tersebut. "Ah, novelnya bagus? Beli aja. Apa mau gue belin?"

"Bukan itu." Dista menoleh, cemberut. Dia berlalu setelah meletakkan novel tersebut di tempat semula. "Bagus karena langsung ke sini."

"Oh, lo nggak sabar buat ketemu sama gue?" Deva menyahut usil.

Anggukan kepala Dista membuat Deva terperangah. Gadis itu menunduk, menatap ke bawah, mengusap tumit beberapa kali. Lebih tepatnya, memijat. Manik cokelatnya menyorot Deva, merana. Deva dibuat kebingungan akan tatapan dan kelakuan Dista.

"Kaki gue sakit, nggak biasa pake wedges."

Deva boleh tertawa? "Astaga."

"Jangan ketawa."

Dista cemberut, benar-benar kesulitan mengontrol kenormalan berjalan ketika kakinya sakit. Sambil menahan tawa, Deva merelakan lengannya menjadi pegangan Dista. Dia bahkan jalan pelan-pelan, mengikuti langkah pincang Dista. Deva berhenti di tangga pintu masuk Gramedia dan menyuruh gadis itu untuk duduk.

"Gue ambil motor dulu, ya. Lo di sini aja." Dista mengantar kepergian Deva dengan anggukan. Namun baru beberapa langkah, cowok itu balik badan kembali bergegas menemui Dista. "Ukuran kaki lo berapa? 36, ya?" tanyanya berwajah khawatir.

Kening Dista terpaut. "Bukan, 38. Kenapa?"

"Bentar gue beli dulu."

Tanpa mendengar penolakan Dista, Deva berlari ke dalam Gramedia dan mencari sandal bermotif sesederhana mungkin. Tidak sampai limabelas menit, Deva kembali dengan kantung transparan hingga tampak jelas isinya. Sandal warna biru. Cowok itu jongkok di hadapan Dista yang duduk terpaku di anak tangga.

"Dev, lo nggak perlu ngelakuin ini." Dista terkejut ketika cowok itu menarik kakinya.

Deva bersikap tuli, melepas wedges kanan Dista. Tumitnya berdarah, ditambah memar di hampir seluruh ruas kelima jari kaki. Deva meringis saat Dista mengaduh lukanya tergesek tangan Deva. "Lo...," Deva berjeda, tak bisa berkata-kata. "Uh, bener-bener, deh."

"Biar gue aja." Dista mengambil alih ketika Deva hendak melepas wedges satunya.

"Diem." Suara tegas penuh intimidasi itu membekukan Dista. "Lo kenapa maksain diri pake hal yang nggak bikin lo nyaman gini, sih? Nyakitin diri sendiri aja."

DisvawingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang