Intensitas pertemuan Deva dan Dista meningkat. Tiap ada kesempatan, mereka pergi dan berfoto bersama. Gallery Dista sampai penuh foto konyol Deva. Kebanyakan, ngeblur. Dista sempat memotret Deva yang tertidur di pundaknya saat mereka nonton di laptop. Ada video singkat ketika Deva bermain DDR, bahkan sampai rekaman suara Deva yang membuang ingus pun ada. Jorok, tapi menandakan kedekatan mereka. Pokoknya, lengkap.
Deva bebas jadi diri sendiri saat bersama Dista, begitu pula sebaliknya.
"Ih, Deva kejam. Masa dia bela-belain dateng dari luar pulau tapi lo malah cuekin sih?"
"Ya abis gimana, gue nggak tertarik." Deva mengangkat bahunya cuek, mengambil satu dimsum yang tersisa dari makan siang mereka. "Gue rada aneh, sih. Suka menjauh kalau ada perempuan yang punya tanda-tanda suka sama gue."
Dista menyenggolnya keras. "Jahat itu namanya, bukan aneh."
"Tapi sebelumnya gue tertarik sama dia," Deva membela diri.
Pikiran Dista mengelana. "Jadi, lo bakal menjauh dari cewek yang keliatan suka sama lo?"
"Normalnya gitu," jawabnya sambil mengangguk.
"Kok, ke gue enggak?" Pertanyaan Dista hampir membuat Deva tersedak minumannya. "Bukan berarti gue suka lo dalam artian romansa, ya," Dista langsung mengelak. Padahal dalam hati merutuk diri karena keceplosan.
Cowok itu memerhatikan sumpit yang dimainkannya lalu beralih ke Dista. "Lo pengecualian, sih." Ketika Dista diam menunggu, Deva melanjutkan. "Hubungan kita kan hanya sebatas sahabat. Nggak ada niat lebih..., kan?" tanyanya, lebih pada diri sendiri.
Dista diam, berpikir. Menangkap keraguan dalam nada bicara Deva.
Suasana menjadi canggung seketika. Topik yang benar-benar sensitif.
"Lo udah kenal gue lumayan lama, Dev. Lo juga tahu gue punya pengalaman buruk dalam hal seperti ini. Kak Bagas," Dista menyebut namanya karena Deva menyorot bertanya. "Gue cuma nggak mau salah paham dengan kebaikan-kebaikan yang lo lakuin. Karena gue tahu, lo baik sama siapa aja. Udah cukup rasanya suka sama orang duluan, nggak dinotice."
Manik Dista melirik lewat ekor mata, tapi Deva masih membisu.
"Duh, gue ngomong apa." Dista tertawa canggung karena tak ditanggapi. "Yah, gue harap persahabatan kita ini nggak rusak, ya. Gue ke toilet dulu."
Deva memandangi punggung Dista yang bertanya toilet pada pelayan. Cowok itu sadar, Dista meminta kepastian akan hubungan mereka.
Dalam bilik kamar mandi, Dista bersandar pada daun pintu. Memukul kepalanya berulang kali, merutuki mulut yang tak bisa ia jaga. Kenapa juga, ia harus mengangkat topik itu? Tapi kemudian, Dista sadar. Ia harus memastikan perhatian dan segala perlakuan Deva; sebagai sahabat atau kekasih.
. . .
Setelah pembicaraan di restoran dimsum, Deva mendadak bisu. Kaku. Selama perjalanan, di mana biasanya mereka saling bercanda dan mengobrol, keduanya bungkam. Dista bertanya-tanya, apa kata-katanya tadi terlalu 'mendorong'? Atau Dista terlalu geer dan Deva jadi bingung bersikap kepadanya?
Tiba-tiba, Deva menepi.
"Kenapa, Dev? Laper lagi?" tanya Dista, bingung.
Deva menggeleng. "Nggak. Mendadak perut gue keram."
"Hah, kok bisa?" Dista lompat dari jok motor, berdiri tepat di samping Deva yang memegangi perut. "Gue nggak bawa minyak kayu putih atau sejenisnya biar lo enakan."
Cowok itu tersenyum geli melihat Dista panik. "Nggak apa, gue cuma kepikiran sesuatu."
"Sampe segitunyaaa?!" Dista geleng-geleng kepala, mengikuti Deva yang menuntun motor agar mereka tak terlalu di pinggir jalan. "Tapi mending duduk dulu aja deh sampe keram lo mendingan. Gue beliin sesuatu yah yang anget-anget? Di situ ada warkop tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Disvawings
Novela Juvenil"Kilau sayap kita yang berbeda ditakdirkan untuk mengepak bersama, menjangkau mimpi yang hampir padam ditelan keputusasaan." Dista gemar menulis, ngeri berada di tempat tinggi. Deva senang ketinggian, paling sulit berdiam diri untuk membaca. M...