Hey, hey, you, you, I don't like your girlfriend!
No way, no way, I think you need a new one!
Hey, hey, you, you, I could be your girlfriend!
--Girlfriend by Avril Lavigne
.
Lampu masih padam ketika Dista mengikat tali sepatu di ruang tamu. Sekarang hari minggu, dan rumah Dista sama sepinya seperti hari biasa. Papa dan kakaknya lagi-lagi terbang. Dista tak begitu peduli dengan keheningan yang merayap, tetapi kepalanya langsung berputar ke belakang begitu mendengar suara pintu berderit. Mamanya muncul dengan wajah mengantuk, terkejut melihat Dista sudah bersiap untuk lari pagi. Berbanding terbalik dengan Yosa yang masih memakai piyama.
"Dis, kamu nggak kepagian?" sapa mamanya sambil menghampiri.
Dista menggeleng. "Nggak kok, Ma. Pas nyampe danau juga udah ramai."
"Ya udah hati-hati." Yosa menguap, memutar tumit hendak ke dapur untuk menghilangkan dahaga, tetapi Dista yang memeluknya tiba-tiba dari belakang menahan langkahnya. "Eh, anak Mama pagi-pagi udah manja. Ada maunya, ya? Dompet Mama di kamar."
"Nggak selamanya Dista begini ada maunya. Huh."
Yosa tertawa kecil. "Ya udah, terus ada apa dong?"
"Dista minta maaf, Ma," ungkap Dista setelah tiga detik diselimuti keheningan. Mamanya tak menjawab seakan menunggu rincian permintaan maaf tersebut, tetapi Dista justru melepas pelukan mereka. "Dista pamit dulu ya, Ma!" serunya kemudian menutup pintu dari luar.
Bukan tanpa sebab Dista meminta maaf pada mamanya. Dia merasa sikapnya kemarin—ketika membuntuti mamanya tidak dapat dibenarkan. Orang tuanya memang jarang bersama, tetapi keadaan itu harusnya tak memicu rasa penasaran Dista hingga tahap mencurigai mamanya berselingkuh.
Setelah mengunci gerbang, Dista menoleh ke arah rumahnya yang terbilang megah. Beberapa mobil serta satu motor terparkir di garasi, ada kolam ikan besar sebagai pusat taman rumahnya, puluhan tanaman hias yang tersebar rapi, serta bangku-bangku santai yang dinaungi pepohonan rindang. Hasil jerih payah ayahnya selama puluhan tahun menjadi pilot.
Kemewahan yang semestinya disyukuri oleh Dista.
Sayang, hal tersebut tak dapat menggantikan momen berkumpulnya anggota keluarga. Jujur, Dista iri pada anak-anak yang selalu bertemu dengan orang tua mereka setiap hari. Berbeda dengan keluarganya yang sibuk kesana kemari. Yah, Dista tak boleh mengeluh.
Jalan raya yang lengang membuat Dista terus berlari kecil dengan semangat. Pagi yang belum tercemar polusi kendaraan menarik Dista untuk menikmati udara pagi dengan menghirup napas dalam-dalam. Seorang kakek melewati Dista dengan sepedanya, beberapa orang berjalan sembari mengobrol, dan sisanya berlari sendirian—seperti dirinya. Tetapi, manik Dista terpaku pada sepasang perempuan dan laki-laki yang bersepeda melewatinya. Pandangan Dista berbinar begitu mengenali sepeda si pemuda.
"Kak Bagas!" teriaknya senang.
Bagas langsung menghentikan sepedanya dan menoleh ke belakang. "Wah, Dista!" Lelaki itu menunggu hingga Dista tiba di sampingnya. "Lo nggak bilang kalau mau olahraga. Tau gitu tadi bareng kita, ya nggak?" Bagas beralih ke arah cewek yang bersamanya.
"Yah, asalkan Deva nggak ada di sini."
"Shira, lo udah janji nggak akan ungkit masalah itu lagi," peringat Bagas yang disahuti wajah bodo-amat Shira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disvawings
Novela Juvenil"Kilau sayap kita yang berbeda ditakdirkan untuk mengepak bersama, menjangkau mimpi yang hampir padam ditelan keputusasaan." Dista gemar menulis, ngeri berada di tempat tinggi. Deva senang ketinggian, paling sulit berdiam diri untuk membaca. M...