Dista memandang dua cowok yang berjalan di hadapan mereka. Lengannya melingkar di tangan Riana, sambil sesekali menarik dan mengeluarkan napas dengan berat. Membuat Riana risi dan mengedikkan pundak. Dista masih tak merespon, justru tambah layu.
"Lo nggak demen gue traktir pake promoan?" Riana sensi.
"Pengin ayam geprek."
"Ya iya kita lagi mau makan ayam geprek!"
Bibir Dista manyun. "Mau yang ada lelehan kejunya."
"Emang ada kan, Diiis. Aduh ni anak kenapa sih?" Riana benar-benar kesal.
"Gue nggak suka ya topik serah-terima kayak gini. Dista itu bukan barang, jadi lo nggak berhak ngomong kayak gitu. Lagian, Dista mana bisa bahagia kalau orang yang sebenernya super sayang dan disayang sama dia malah nyerahin dia ke orang lain? Lo gila apa, Gas?"
Kalimat Deva terngiang terus di kepala Dista. "Nggak apa-apa, kok."
Riana berhenti dan menekan pundak sahabatnya. "Liat gue sini deh." Dista balas dengan sorot lesu. Riana mengembuskan napas keras, merangkul Dista. "Gue di sini siap loh dengerin segala curhatan lo. Tapi gue nggak maksa sih kalau lo nggak mau cerita."
"Kak Bagas suka sama gue."
Riana melotot. "Hah?!"
"Tapi dia nyerahin gue ke Deva," lanjut Dista.
"Kenapa kok gitu ih?" Kali ini Riana benar-benar berhenti melangkah. "Lo denger dari siapa? Nggak salah itu? Bukannya lo pernah ditolak sama Kak Bagas?"
"Dan Deva kayaknya udah tau perasaannya Kak Bagas sejak lama."
Riana memijit-mijit keningnya, gusar. "Lo udah bener-bener mastiin kabar ini?"
"Gue denger pembicaraan mereka kemarin, Ri. Nggak mungkin lah salah."
Bibir Riana seperti terjahit, bingung mau menanggapi apa.
"Gue kecewa banget sumpah." Dista mengembuskan napas lambat-lambat, kepalanya mengangguk ketika Deva menyuruh mereka cepat masuk. "Bingung harus gimana. Marah sambil maki-maki? Tapi itu nggak nyelesein masalah walau bisa bikin lega sedikit. Dan gue bingung gimana buka topik ini ke Deva atau Kak Bagas."
"Lo kecewa di bagian mana, Dis?" Pertanyaan Riana membisukan Dista. "Deva yang nggak jujur, atau Kak Bagas yang nggak mau terima lo walau punya perasaan yang sama? Lo masih punya rasa sama dia? Kalau masih, kenapa nggak coba tanya alasan kenapa dia nolak lo?"
Dista menggeleng. "Gue udah nggak ada rasa apa-apa sama dia, Ri."
"Kalau gitu, lo suka sama Deva?"
Beberapa detik berlalu dalam hening.
"Gue nyaman sama dia, tapi nggak tau rasa ini tetep bertahan di sahabat atau bisa berkembang ke hal lain," jawab Dista akhirnya.
. . .
Deva memerhatikan Dista yang sejak tadi fokus pada ayamnya. Masih mending kalau dimakan, tapi gadis itu hanya memainkan bagian keju dan nasinya. Diaduk-aduk. Dipotong-potong. Sedangkan makanan Deva sudah habis setengahnya.
"Dista," Deva akhirnya menegur. "Jangan mainin makanan, ah."
"Emang kenapa kalau dimainin?" tanya Dista pelan.
Deva mengerutkan kening. "Ya itu kan bukan mainan. Makanan. Buat dimakan."
"Iya. Nanti dimakan," sahut Dista singkat.
Bingung karena baru pertama kali menghadapi Dista yang begini, Deva menyorot bertanya pada Riana yang duduk berseberangan dengan Dista. Tapi, pacar Lukas itu malah membuang pandangannya sambil berdecih. Hal yang menambah kerutan di dahi Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disvawings
Fiksi Remaja"Kilau sayap kita yang berbeda ditakdirkan untuk mengepak bersama, menjangkau mimpi yang hampir padam ditelan keputusasaan." Dista gemar menulis, ngeri berada di tempat tinggi. Deva senang ketinggian, paling sulit berdiam diri untuk membaca. M...