26 : Perubahan

5.4K 636 20
                                    

Berminggu-minggu setelah masalah mengenai orang tua usai. Sejak saat itu juga Deva tak pernah memberi kode pada Dista. Hubungan mereka sama seperti sebelumnya, sebatas teman. Bukannya gadis itu berharap, hanya saja ia masih bertanya-tanya makna dari obrolan dan sentuhan di malam itu.

"Dista, wei!"

Dista terperanjat. Gadis itu menoleh, mendapati Riana yang berkacak pinggang.

"Apa? Ada apa?" tanya Dista bingung.

Riana geleng-geleng kepala, mencondongkan tubuhnya mendekati laptop Dista. membaca isinya. "Serius revisi lo kayak gini? Ini kalimat maksudnya apaan? Bukannya tokoh lo lagi berantem? Kok tiba-tiba pegangan tangan sambil senyum-senyum?"

Dista melotot. Tak sadar jika menuliskan kejadian malam itu.

"Kenapa sih? Nggak fokus banget." Riana mengambil bangku di depan Dista dan duduk menghadapnya. Memerhatikan sahabatnya menghapus sebagian kalimat tak nyambung tadi.

Dista menyeruput susu kotak setelah yakin naskahnya sudah kembali ke jalan yang benar. "Gue lagi kepikiran suatu hal aja, Ri."

"Apa? Masalah orang tua kan udah kelar?"

"Iya," Dista berjeda, menatap Riana dengan sorot ragu, "Tapi ada sesuatu yang ganjel."

"Ya apa? Seneng banget deh ngomong setengah-setengah gitu." Riana dongkol.

Kemudian kisah malam itu mengalir. "Gue nggak ngarep, sumpah. Cuma bingung aja."

"Ngarep juga nggak apa kali. Sesama jomblo ini."

"Nggak deh, gue udah kenyang banget sama yang namanya berharap."

Riana memandang sedih. "Tapi bukan berarti lo nutup hati, Dis."

"Sama sekali nggak nutup hati. Cuma nggak mau suka duluan aja, Ri."

. . .

Adista Dafina : Gimana ujiannya?

Devara Ramaditya : Tunggu di taman, ya.

Dista bersandar di sandaran kursi panjang, menengadah. Memandang langit yang mulai bernuansa oranye. Dia sudah menunggu Deva hampir lima belas menit, tapi cowok itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Mungkin dia kena macet. Wajar, jam lima sore adalah waktu-waktu padat.

Tes. Tes.

Hujan?

Dista membuka mata. Tetesan yang mengenai pipinya ternyata dari bungkus es krim.

"Sori telat. Jalanan macet banget," ungkap Deva setelah Dista mengambil es krimnya.

Cowok itu hanya memakai kaus putih berbalut jaket hitam, dengan jins dan sepatu kets. Sebenarnya biasa saja, malah sangat santai. Tapi entah kenapa Dista selalu tertarik dengan laki-laki yang memakai baju hitam. Apalagi kemeja.

"Ujiannya gimana?" Dista duduk tegap, membuka bungkus es krim.

Bukannya menjawab, Deva tersenyum. "Makasihnya mana?"

"Makasih." Dista mengangkat es krimnya. "Jadi, gimana?"

"Entahlah." Cowok itu mengedikkan bahu. Setelah mempertimbangkan antara mimpi dan kenyataan, saat ini yang terbaik adalah menerima kenyataan. Deva mengambil ujian STMKG, menepikan mimpinya sebagai pilot untuk sementara waktu.

Jawaban aman. Tapi Dista menganggap itu sebagai suatu kepasrahan.

"Yang penting udah usaha ya, Dev?"

"Ya." Deva tersenyum melihat Dista asik menjilati es krim. Gadis itu tak pernah berani menggigit es batu atau es krim, padahal giginya tak sesensitif itu. Akibatnya, sekitar mulut Dista belepotan. "Dasar bocah." Deva menyeka pinggiran bibir Dista dengan ujung jaketnya.

DisvawingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang