So don't you worry your pretty little mind,
People throw rocks at things that shine,
And life makes love look hard,
The stakes are high,
The waters rough,
But this love is ours--Ours by Taylor Swift
.
Hari pertama menjadi mata-mata, senin malam.
Saat ponsel mamanya berdering, Dista langsung berlari dan menutup pintu laundry. Mamanya tengah menggoreng ikan, dan tempat paling aman untuk menguping pembicaraan di dapur adalah ruang laundry. Jadi, Dista merapatkan telinganya pada celah pintu, berusaha mendengar pembicaraan mamanya. Papanya kerja, sedangkan Ridha pergi bersama Aina untuk mencari souvenir pernikahan mereka. Jadi, dia hanya berdua dengan mamanya.
"Saya sudah bilang, dia tidak boleh bekerja lagi."
Suara mamanya terdengar kesal, dan Dista berjengit saat ada sesuatu yang menggelikan menjamah kakinya. Saat melirik ke bawah, ia melihat kecoak mendongak sembari menggerakkan kedua antenanya. Kecoak sebesar jempol kaki itu seperti menyapa Dista. "Mama ...," rintih Dista sambil mengibaskan kaki—berharap kecoak itu pergi.
"Dia sudah mencuri!" lengkingan Yosa membuat Dista terperanjat. "Jika dia berani datang ke cafe lagi, saya akan memanggil polisi."
Tepat ketika Yosa memutus sambungan, kecoak yang sebelumnya menggeliat di kaki Dista membuka sayapnya dan terbang mengelilingi ruangan. Spontan saja, Dista berteriak ketakutan sambil membuka pintu dengan panik. Mamanya yang tengah meniriskan ikan ikut kaget.
"Mama, ada kecoak terbang! Sumpah gede bang--" teriakan Dista terputus berkat kakinya yang tersandung tempat sampah. Untung saja itu bukan sampah basah. "Sakit ...," dia merintih tanpa mengangkat wajahnya yang mencium lantai dapur.
"Dis, kamu nggak apa?" Yosa berjongkok, menatap anaknya kasihan.
"Sakit, Ma," rengek Dista seraya mengusap keningnya yang memerah.
Mamanya menahan tawa. "Lagian, ngapain di ruang laundry malem-malem gini?"
Dista tidak mungkin menjawab kalau ia ingin menguping pembicaraan mamanya.
.
.
.
Hari ke dua menjadi mata-mata, selasa sore.
Ridha memandangi adiknya yang tampak mencurigakan. Kening gadis itu ditempeli plester luka akibat kejar-kejaran dengan kecoak kemarin malam. Seragam sekolahnya yang sudah berantakan kontras dengan sikap hati-hatinya bak detektif. Punggungnya merapat pada dinding, sebentar-sebentar memperhatikan sekitar dengan teliti. Kemudian, telunjuknya diletakkan di bibir saat pandangan mereka bertemu. Spontan saja, Ridha menaikkan alisnya.
"Ma, Dista mau maling nih, Ma!" teriak Ridha asal.
"Huss, Kak Ridha!" Dista menampar udara, menyuruh kakaknya untuk menyingkir dari pandangan. "Sana mendingan sepedaan aja. Jangan ganggu gue!" usirnya.
"Gue bawa pizza," Ridha mengangkat tangannya yang penuh dengan dua tumpuk boks pizza. "Nggak mau nih? Ya udah gue makan sama Bagas aja deh."
"Mauuu," ekspresi Dista melas. "Tapi bentaran, gue mau menyelesaikan misi dulu."
"Misi apa?" Ridha mengernyit bingung.
Dia kemudian meletakkan boks pizza di atas nakas dekat TV, disusul melepaskan kemeja. Tubuh Ridha yang atletis tercetak jelas dalam balutan kaus hitamnya yang ketat. Manik cokelat gelap Ridha masih terpaku pada Dista yang sibuk berjingkat-jingkat. Anak itu langsung lari menyambar sesuatu di atas meja setelah terdengar suara gemuruh air dari dalam kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disvawings
Teen Fiction"Kilau sayap kita yang berbeda ditakdirkan untuk mengepak bersama, menjangkau mimpi yang hampir padam ditelan keputusasaan." Dista gemar menulis, ngeri berada di tempat tinggi. Deva senang ketinggian, paling sulit berdiam diri untuk membaca. M...