Aku duduk di depan ruang ICU Elisa, tepat di samping pintu memisahkan diriku dengan Elisa. Ia sempat kritis beberapa kali, jantungku terasa berat, seolah seirama dengan setiap detik yang terhitung lambat di jam dinding. Rasa takutku semakin menghimpit harapanku.
Kubuka ponsel yang memunculkan beberapa notifikasi. Pandanganku tertuju pada satu pesan baru dari Raveno. Aku mendesah pelan. Apakah selemah ini pertahananku, seolah sangat mudah sekali luluh padanya? Aku masih ingin marah, melampiaskan rasa kecewa yang tak kunjung hilang.
"Bodo amat, ah!" gumamku sendiri sambil menggeser layarnya ke bawah tanpa niat membaca lebih lanjut. Pesan dari Billa juga ada, mungkin bertanya kenapa aku tak masuk sekolah beberapa hari terakhir. Tapi sungguh, untuk sekarang, satu-satunya yang penting bagiku adalah kondisi Elisa.
Kata-kata dokter terus terngiang di kepalaku, menambah beban di dadaku. "Kami tidak bisa memastikan Elisa akan bertahan."
Aku menutup mataku, berdoa dalam diam, berharap ada keajaiban. Tuhan, biarkan Elisa kembali seperti sedia kala. Hatiku terasa sesak lebih parah dari sebelumnya, melihat banyak sekali alat yang menempel di tubuhnya. Tak lama aku merasakan seseorang menyentuh lembut bahuku. Aku membuka mata, di depanku, Daddy tersenyum lalu duduk di sebelahku. Aku hanya menghela napas.
Tangan Daddy terasa hangat di genggamanku dan tanpa sadar aku berbisik, "Daddy..."
Daddy mengangguk perlahan, matanya lembut saat menatapku. "Iya, sayang."
Aku ingin bersandar padanya, tapi rasa kecewa masih melekat begitu erat. Seolah akan membekas selamanya. Keheningan kembali menemani, namun ada sesuatu yang mendesak di benakku sekarang, sesuatu yang tak bisa aku diamkan lebih lama.
"Kenapa Daddy dan Mommy bercerai?" kata-kata itu meluncur begitu saja, seolah isi hatiku yang berbicara.
Daddy tampak menghindari tatapanku. "Kamu tidak perlu tahu semua detailnya, sayang."
"Dad, tapi aku perlu. Jangan perlakukan aku seperti anak kecil lagi yang nggak harus tahu semua hal. Jawab jujur, apa Clara dan pria yang bersama Mommy menjadi alasan kalian berpisah?" suaraku kini penuh dengan kemarahan yang kutahan selama ini. Luka di hatiku mendesak keluar, terlalu lama tertahan.
Daddy masih memalingkan wajahnya, menghindari pertanyaanku yang menusuk lebih dalam. "Ini keputusan kami," ucapnya akhirnya, datar tanpa emosi.
Aku bangkit dari tempat duduk, amarahku semakin memuncak. Aku meninggalkan Daddy, tak mempedulikan panggilannya. Rasa kesal, kecewa, dan marah terus menghujami hatiku.
Langkahku terhenti ketika melihat Mommy dan pria asing itu lagi berjalan berdampingan. Dengan cepat, aku mendekati mereka dan berhenti tepat di depan pria itu.
"Bisa bicara sebentar?" tanyaku langsung, dengan nada sopan namun tetap terdengar tegas dan mengintimidasi.
Mommy tampak terkejut. "Sayang, tenanglah..." katanya dengan nada memohon.
Aku tak menghiraukan ucapan Mommy, tatapanku hanya tertuju tajam ke pria itu. "Ikut aku, Sir!" aku menarik tangannya tanpa menunggu persetujuan.
Kami berjalan ke ujung lorong rumah sakit yang lebih sepi. Ini saatnya aku mendapatkan jawaban.
"Siapa namamu?" tanyaku sekali lagi, kedua tanganku kini menyilang di depan dada, mencoba menahan gejolak emosi yang sudah tak terkendali.
"Namaku Ben," jawabnya dengan suara lembut.
Senyumnya yang ramah seakan mencoba meredam amarahku, tapi aku tak peduli. Bagiku, dia adalah iblis yang menghancurkan hidupnya.
"Apa hubunganmu dengan Mommy?" Suaraku tegas, namun getarannya tak bisa kusamarkan.
"We're friends," jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya, seolah semua ini bukan masalah besar.
"Aku benci dibohongi," kataku, mataku menyipit menatapnya tajam. "Kalau begitu, tolong jaga jarak! Jauhi Mommyku!"
"Tidak bisa. Aku sangat mencintainya," ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan.
Aku terdiam sesaat, darahku mendidih mendengar pengakuan itu. "Kau bilang kau hanya teman!" suaraku kini lebih keras. "Kenapa kau mencintai Mommy? Mommy sudah bersuami!"
Dia hanya terdiam, tak memberikan jawaban.
Aku merasakan air mata mulai menggenang disudut mataku, tapi kutahan sekuat tenaga. "Kau sadar, kan? Kau telah menghancurkan keluarga kami. Kau tidak tahu rasanya berada di posisiku!"
Tanganku mengepal, rasanya ingin meninju Ben sekuatnya. "Kau tak tahu rasanya..."
Ben menunduk, suaranya terdengar lebih pelan sekarang. "Maafkan aku... tapi aku sungguh mencintai Kenzie."
Aku tertawa sinis di antara tangisku yang mulai pecah. "Selamat, Ben! Selamat! Kau sudah menghancurkan keluargaku!"
Aku membalikkan badan, meninggalkannya sendirian di lorong itu. Setiap langkahku, seolah menusuk lebih dalam ke luka yang sudah lama menganga.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...