BAB 35

7K 329 1
                                    

Saat ini kami berada di Big Top Toys, tempat belanja hadiah yang penuh dengan mainan anak-anak. Ada banyak sekali berbagai macam mainan hingga boneka yang lucu dan menggemaskan. Aku mengambil beberapa boneka minnie mouse dan teddy bear. Elisa pasti menyukainya, pikirku dengan senyum kecil.

Setelah membayar dan membungkusnya, kami membawa tas besar berisi boneka itu ke mobil. Namun, baru saja hendak memasukkannya ke bagasi, seseorang memanggil kami dari belakang.

"Sharin? Billa?" suara itu membuat kami berdua menoleh bersamaan. Rupanya Ranvi, berdiri di sana sambil membawa skateboardnya.

"Ranvi? Abis dari mana lo?" tanya Billa dengan penasaran.

Ranvi hanya membalasnya dengan mengangkat skateboardnya sambil tersenyum lebar.

"Btw, selamat ya, lo lolos olimpiade!" ucapku tulus.

Ranvi mengangguk mantap. "Thanks," balasnya. "Kalian udah mau balik?" tanyanya sambil melirik tas besar yang kami bawa.

"Mau mampir ke Coach Raveno, nih!" jawab Billa sambil menonjok lembut bahuku, tersenyum jahil. Aku menepis tangannya.

Ranvi mengangkat alisnya, tampak bingung. "Coach Raveno? Hari ini kan dia mau berangkat ke London," ucapnya dengan nada santai.

Namun ucapannya membuatku melotot kaget. "Ke London? Sekarang?" tanyaku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku, jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

Ranvi mengangguk. "Yap. Olimpiade akan diadakan di sana minggu depan. Katanya dia mau berangkat hari ini buat ngurus sesuatu."

"Jam berapa penerbangannya?" tanyaku dengan suara bergetar.

Ranvi melirik jam di pergelangan tangannya. "Sore ini, mungkin pukul tiga. Kemarin dia bilang gitu pas briefing terakhir."

Napasku tercekat, kabar itu seolah mencekikku. Kenapa Raveno tidak memberitahuku? Aku melihat jam di ponselku. Saat ini sudah pukul dua siang lewat lima belas menit. Segera aku menarik tangan Billa untuk segera masuk ke dalam mobil.

"Thanks, Ranvi! Gue cabut dulu!" ucapku terburu-buru sambil menutup pintu mobil. "Bil, ke bandara sekarang!" pintaku tegas.

Billa segera mengangguk, seolah memahami situasiku. "Oke! Pegangan yang kenceng, gue ngebut!" katanya seraya menancap gas.

Mobil melaju cepat, namun air mataku mulai mengalir. Aku menatap lurus kedepan, tanganku meremas sealbelt cemas, berharap semuanya belum terlambat. Namun, tiba-tiba, ponselku berdering. Aku melihat nama Mommy muncul layar. Aku mengernyit dan mengangkatnya, sementara sebelah tanganku memegang sealbelt semakin erat.

"Halo, Mom?" sapaku, mencoba menetralkan suaraku.

"Sayang..." jawab Mommy dari ujung telepon, suaranya terdengar terisak. "Elisa kritis..." lanjut Mommy dengan suara yang nyaris tersendat.

DEG!

Rasanya seperti ditikam ribuan pisau di dada. Napasku mendadak sesak, dan air mataku mulai mengalir deras tanpa bisa kutahan.

Billa, yang masih fokus menyetir melirikku sekilas, tampak khawatir melihatku menangis. "Sharin, lo kenapa?" tanyanya panik.

Aku terdiam, berusaha mengendalikan diri meski hatiku kini berada di ambang kebingungan. Aku menarik napas dalam. "Bil, puter arah! Kita ke rumah sakit!" ujarku dengan suara bergetar hebat.

Billa tak berkata apa-apa. Dia langsung berbalik arah, membawaku menuju rumah sakit. Keputusan itu menghentikan rencanaku ke bandara. Merelakan Raveno pergi tanpa mengucapkan perpisahan. Lagi.

***

Aku berlari menuju ruang perawatan, langkahku seolah tidak menyentuh lantai. Billa menyusul dari belakang, tangan-tangannya sibuk menenteng tas belanja yang tadi kami beli untuk Elisa. Di depan pintu kaca ruang ICU, aku melihat Mommy dan Daddy berdiri, wajah mereka tegang menatap ke dalam ruangan itu. Daddy menunduk, air mata menetes di pipinya, sementara Mommy berusaha menahan isak tangis yang semakin lama semakin histeris.

Aku mendekat, tanganku gemetar menutup mulutku syok saat melihat Elisa yang terbaring di atas ranjang, tubuhnya digetarkan oleh hentakan alat defibrillator yang ditempelkan ke dadanya. Setiap kali alat itu digunakan, tubuh mungilnya sedikit terangkat dari ranjang, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Layar monitor memperlihatkan detak jantungnya terus berdetik cepat, mengisi ruangan dengan suara tegang yang menggema di telingaku.

Billa berdiri di sampingku, memegang bahuku sambil menangis. Aku menggedor-gedor kaca, memohon dalam diam agar dokter menyelamatkan Elisa, berharap ada keajaiban. Tangisku pecah tak tertahankan, air mata mengalir tanpa henti.

"Mom! Dad! Elisa bakal baik-baik aja, kan?" tanyaku dengan suara bergetar, namun mereka tidak menjawab. Mereka tetap memandang Elisa dengan tatapan hampa, ketakutan dan putus asa bercampur jadi satu di wajah mereka.

Aku meremas dadaku, rasa sakit yang teramat sangat mencengkeram hatiku. "Please, Tuhan, jangan ambil malaikat kecilku! Kumohon!" teriakku sambil terisak, tetapi suaraku seolah tenggelam dalam keriuhan alat-alat medis yang terus berbunyi.

Tiba-tiba, suara monitor berubah menjadi nada panjang, datar, menandakan jantung Elisa berhenti berdetak. Dokter-dokter di dalam ruangan tampak semakin panik, Gerakan mereka cepat, terus mencoba dengan defibrillator. Namun, tak ada respons dari Elisa.

"No, please! C'mon El, stay with us," bisikku lirih, suaraku serak karena tangis yang tak terkendali.

Satu per satu dokter menatap kami dari balik kaca, kemudian salah satu dari mereka menggelengkan kepalanya pelan, sebuah isyarat yang menusuk hingga palung hati. Itu berarti mereka telah melakukan segalanya.

"My baby..." Mommy langsung teriak keras, tubuhnya ambruk dalam pelukan Daddy yang memeluknya erat. Wajah Daddy tampak hancur, air matanya jatuh tanpa henti. Aku hanya mematung, menatap Elisa dari balik kaca yang sudah tampak begitu pucat bagaikan awan putih.

'Tidak! Tidak mungkin Elisa meninggalkanku begitu saja.'

Tanpa sadar, aku membuka pintu ruangan dengan kasar dan berlari masuk. "Sayang!" panggil Daddy, suaranya serak dan bergetar.

Aku mendekati tubuh mungil Elisa yang terbaring kaku di ranjang itu. Napasku terasa berat. "El, you hear me, right? C'mon, don't joke like that," bisikku, berharap Elisa membuka matanya. Aku menahan tangis, berharap suara dan sentuhanku bisa membangunkannya.

Daddy mendekat dan menyentuh bahuku, namun aku tak peduli. Aku mengusap lembut pipi tirus Elisa yang kini terasa begitu dingin, genggaman tangannya tak sehangat dulu.

"Come back, please. Come back," suaraku pecah, tangisku tumpah tanpa kendali. Aku mengguncang tubuh Elisa kuat, berusaha membangunkannya.

Daddy menahan lenganku, membawaku mundur. "Sharin..." suara Daddy terdengar begitu lemah, ia menarikku pelan ke pelukannya, mencoba menenangkan amarah dan kepedihanku yang tidak tertahan.

Perawat di dekat kami menutup wajah Elisa dengan selimut putih. Aku berteriak histeris agar ia tak melakukan itu. "NO! She's not gone!" bentakku pada perawat tersebut.

Daddy menarikku erat ke dadanya, menahan tubuhku yang terus berontak. Pada akhirnya aku menyerah dalam pelukannya, tenggelam dalam isak tangis yang tak kunjung berhenti.

Mimpiburuk yang selama ini kutakutkan kini benar-benar menjadi kenyataan. 

HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang