Empat

4.2K 239 0
                                    

Alexis's POV

Ini akan menjadi hari yang panjang.

Aku segera masuk ke ruangan Pak Ferdinand setelah mengambil buku agendanya. Ruangan yang dulu ditempati oleh Pak Surya. Aku terkejut saat melihat beberapa perubahan di ruangan ini. Secepat ini dia mengganti tata ruangan Pak Surya?

"Selamat pagi pak," bagaimana pun aku harus bersikap professional.

"Hari ini bapak ada meeting dengan CEO Anderson Group jam 10 pagi. Di ruang meeting I kantor kita. Setelah itu bapak bebas sampai jam makan siang. Setelah itu, bapak ada meeting dengan client di Choco Cookies Cafe, waktu makan siang. Sorenya, bapak meninjau lokasi di daerah kemang."

"Baiklah, apa semua bahan meeting sudah siap?"

"Iya, pak. Sudah saya siapkan."

"Tolong bawa masuk setelah ini. Saya ingin mempelajarinya dulu." Sungguh, aku tidak suka dengan nada bicaranya. Sangat bukan kak Ferdi.

"Baik, pak"

"Oh, tolong pesankan kopi untuk saya ya. Sama bubur ayam juga. Saya lupa sarapan tadi." Ini yang tidak aku suka dari pekerjaan ku. Terkadang sekretaris dan pembantu beda tipis. Aku hanya mengangguk kemudian keluar dari ruangan Pak Ferdi.

Beberapa jam sudah berlalu, sekarang hampir makan siang. Entah kenapa, hari ini tumben ada banyak sekali pekerjaan. Dan ini membuat aku ingin segera pulang. Mungkin aku benar-benar harus resign. Tapi sebelum resign, sebaiknya aku mencari kantor baru dulu.

"Kau tidak dibayar untuk melamun," suara Pak Ferdinand mengejutkan aku. Kenapa dia jadi berkali-kali lipat lebih menyebalkan? Aneh sekali.

"Ahh, maaf pak. Saya hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Jika tidak berkaitan dengan pekerjaan, sebaiknya kamu pikirkan diluar jam kerja." Apa dia baru saja memarahi ku? Baru sehari saja sudah sangat menyebalkan. Entah apa aku bisa bertahan. Bahkan Pak Surya pun tidak pernah berbicara seperti itu pada bawahannya.

"Lagi pula sebentar lagi makan siang, apa salahnya." Aku bergumam pelan sambil menunduk.

"Salahnya adalah kau bekerja di perusahaan ku. Dan aku tidak suka itu." Aku membulatkan mata ku menatapnya. Ups, sepertinya dia dengar. Kenapa dia jadi otoriter seperti ini.

"Maaf pak," aku hanya bisa menduduk, menyembunyikan wajah ku dari nya.

"Sekarang, sebaiknya kamu menemani saya. Saya tidak tahu dimana Choco Cookies itu."

"Ehh, baik pak."

***

Dan sekarang disinilah kami. Choco Cookies Cafe. Seharusnya Bu Monica sudah datang setengah jam yang lalu. Aku melirik Pak Ferdinand lewat ekor mata ku. Dia terlihat kesal dan berkali-kali melihat jam nya. Sedangkan aku, hanya bisa menunduk. Aku takut dia melampiaskan kekesalannya pada ku. Masalahnya, aku belum tahu seperti apa Ferdi yang baru saat marah. Bagaimana jika dia mengucapkan kata-kata pedas seperti tadi? Atau dia membentak ku di depan umum? Itu akan sangat memalukan.

"Dimana client kita itu Alexis. Ini sudah lebih dari setengah jam. Apa kamu pikir saya ini tidak ada pekerjaan lain apa?! Saya bukan orang yang suka menunggu! Lebih baik kamu batalkan perjanjian dengan dia! Bukan hanya dia yang client kita, lagi pula dia hanya perorangan. Paling-paling hanya ingin merancang rumah." Seru Pak Ferdinand dengan marah. Benar kan, dugaan ku?

"Tapi pak, citra perusahaan akan buruk jika kita membatalkan perjanjian. Meskipun dia hanya perorangan, tapi kepuasan pelanggan sangat penting untuk citra kita." Aku berusaha bersikap tenang dan membujuk Pak Ferdinand.

"Sebenarnya siapa boss disini?! Kau?! Bukan kan? Jadi, jika aku memerintahkan untuk membatalkan, ya batalkan! Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan, paham?!" Lagi-lagi aku di damprat Pak Ferdinand. Aku hanya ingin memberikan solusi terbaik tapi dia malah memarahi aku. Aku ragu apa dia ini benar-benar anak Pak Surya. Sifat mereka sangat bertolak belakang.

"Baik pak," aku sekali lagi hanya bisa menunduk dan menuruti dia. Aku tidak mau dimarahi untuk kesekian kalinya. Lebih baik aku turuti saja.

"Sekarang cari restoran yang enak. Saya tidak suka makan disini. Hanya ada kue-kue." Mata ku menatap ke sekeliling ku. Semoga saja tidak ada pelayan yang mendengar.

"Baik pak," aku bangkit dan berjalan menuju kasir untuk membayar minuman yang kami pesan.

Saat aku melihat ke tempat kami duduk tadi, dia tiba-tiba saja sudah menghilang. Apa dia berniat meninggalkan aku? Tapi itu tidak mungkin. Apa dia setega itu?

Untung saja mobilnya masih ada di parkiran. Aku segera berjalan kesana dan sedikit terkejut saat melihat dia duduk di kursi penumpang. Apa lagi yang dia inginkan sekarang.

"Kau yang menyetir, aku malas dan lelah untuk menyetir."

Dia berkata tanpa menatap, yang benar saja? Apa dia sedang mempermainkan aku? Kenapa harus aku yang menyetir? Sangat tidak gentle. Padahal tadi aku sudah menyarankan untuk memakai supir. Tapi dasar, dia sangat keras kepala. Sekarang aku kan yang repot?

"Cih, yang benar saja. Kenapa kau malah memutar-mutar tidak jelas, ha?! Tinggal cari tempat makan yang enak apa susahnya sih?! Kau sama saja, membuang-buang waktuku."

Ingin sekali aku membalas kata-kata nya itu. Sungguh, aku sudah tidak tahan. Rasanya aku ingin memarahi nya balik. Tapi, aku harus sadar posisi. Dia ini atasan ku. Jika aku marah-marah balik, bisa saja besok aku menjadi pengangguran. Tenang Alexis, tenang. Inhale, exhale, inhale, exhale. Akhirnya, aku berhenti di restoran fast food dekat kantor.

"Sebaiknya kau pesan lewat drive thru saja. Aku tidak punya banyak waktu."
Sok sibuk sekali dia. Memang apa yang mungkin dia lakukan? Setahu ku Pak Surya pun tidak terlalu sibuk.

Setelah kurang lebih dua jam ada di luar, kami akhirnya kembali lagi ke kantor. Aku melihat ada sebuah proposal di meja ku. Persetujuan untuk pesta penyambutan Pak Ferdinand? Yang benar saja. Apa itu perlu? Ada-ada saja ya karyawan disini. Dan, kenapa proposal ini di letakkan disini? Apa mungkin pintu ruangan Pak Ferdinand dikunci? Sebenarnya aku masih kesal dengan orang itu. Aku kesal dan malas untuk bertemu dia.

"Permisi pak," aku mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada sahutan. Dia tadi lebih dulu naik ke sini, jadi seharusnya dia ada di dalam. Apa aku masuk saja dan melatakkan ini di meja nya?

Sial. Apa-apaan ini?

Past and Present - Tahap RevisiWhere stories live. Discover now