Chapter #5

368 81 8
                                        

Amir berdiri di depan kelas XI IPA B. Jabatannya sebagai ketua kelas telah mengubah banyak kepribadiannya yang dulu biasa terlambat datang ke sekolah, sekarang ia menjadi lebih disiplin dan setiap pagi benar ia sudah sampai di muka kelasnya. Mulai saat itu ia ingin menjadi pribadi yang berdedikasi tinggi pada jabatannya. Ia kerap mengawasi teman-temannya yang piket sebelum bel berbunyi. Ia juga memberlakukan sistem denda kepada teman-temannya apabila mereka tidak berpenampilan rapi dan sopan selama di sekolah. Tak ada satupun temannya yang berani menentang. Walau Amir sedikit lebay dan alay, kadang beloon juga, namun ia masih disegani oleh teman-temannya dalam hal kedisiplinan. Amir bisa berubah sangat garang saat dia sedang marah. Kemarahan yang ditunjukan olehnya bisa melebihi emosi Misae-mamanya Crayon Shinchan saat menjitak kepala Shinchan, kebayang enggak tuh?

“Pagi, Ketua!” sapa Badai saat melintas di hadapan Amir.

“Pagi Badai, wah ceria sekali kamu hari ini,” tukas Amir. Tangannya tengah memegang sapu membantu teman-temannya yang piket.

“Harus dong! Pagi ini pelajaran pertama matematika dengan Bu Sugeng kan?” Badai memasukkan tasnya ke dalam laci meja.

“Hari ini kita enggak belajar men, aku dapat info dari Bu Sri Sudaryanti karena hari ini ada pentas seni, kegiatan belajar-mengajar ditiadakan!” runut Amir jelas.

Badai membulatkan mulutnya mengeluarkan suara O bulat. Perhatiannya berpaling tertuju pada seseorang yang turut masuk ke dalam kelas.

“Loh, Yo kamu kok malah ke sini sih? Kamu kan harus menyiapkan pensi, bukan?” seloroh Badai.

Mario duduk di samping Badai,”Aku ingin bertemu pujaan hatiku sebelum beranjak ke pensi.”

Badai menerawang ke luar jendela.

“Nah, tuh dia!” bisik Badai padanya.

Mario tersenyum memandangi Kedasih yang baru saja masuk diiringi Camelia. Kelihatannya mereka berdua pagi ini berangkat bersama.

“Pagi Kedasih!” sapa Mario menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Kedasih.

Kedasih memicingkan matanya,”Kamu enggak salah masuk kelas?”

Kedasih tak kunjung membalas uluran tangan Mario. Lalu Mario menarik sendiri tangan Kedasih supaya tangan mereka saling berjabat. Jabatan itu diayun-ayun cukup lama.

“Sebenarnya sih, aku pernah mengajukan mutasi kelas pada Pak Ruspita-wakasek kesiswaan, tapi enggak tahu kenapa pengajuanku ditolak. Yah, padahal aku kepingin banget masuk di kelas ini,” Mario mendesah.

Kedasih menautkan kedua alisnya nyaris rapat,”Kok sama kaya Badai ya? Kalau enggak salah, waktu hari pertama sekolah Badai juga mau menggugat supaya bisa pindah kelas kan?” Kedasih melemparkan pandangan pada Badai.

Lirikan Mario turut beralih menuju Badai sehingga Badai tampak gelagapan, ia salah tingkah.

“Eng, itu.. Waktu itu salah paham. Aku memang salah, aku tak mampu masuk kelas XI IPA A. Iya, benar begitu,” Badai gugup.

Mario mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak mencurigai Badai. Ia sudah tidak mempermasalahkan soal perpindahan kelas lagi. Baginya bisa mulai dekat dengan Kedasih saja sudah cukup.

Di kejauhan terlihat Amir sedang ber-rock-n-roll ria dengan gagang sapu yang dipegangnya seperti sedang bermain gitar. Di belakangnya teman-teman lain turut mengiringi gerakannya dengan mimik yang lucu. Ada anak yang memegang kemoceng dan menjadikannya sebagai penggesek biola, ia menggesek-gesekan kemoceng itu ke tangan kirinya yang dianggap sebagai biola sungguhan. Ada pula anak yang memegang ember besi dan menabuhkan telapak tangannya pada pantat ember menjadikan ember besi tersebut sebagai gendang. Lantas Amir pun bernyanyi mendendangkan salah satu lagu dangdut yang pernah dipopulerkan oleh H.Roma Irama zaman dulu.

Namamu KupinjamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang