Epilog

403 75 15
                                    


Gadis kecil itu berlari-lari mengitari rumah-menangkap tubuh Badai hingga membuatnya terkejut-dan menghindari tangkapan Kedasih. Gerakannya lincah dan gesit, membuat Kedasih kelelahan mengejarnya.

Badai berdecak, “Sayang, kau jangan berlari-lari! Ingatlah kandunganmu! Aku tidak mau begitu anak kita lahir nanti ia langsung berlari mengejar Princess!”

Kedasih terkikik geli mendengar gerutuan suaminya. “Aku mengerti, sayang. Tetapi keponakan kita ini membuatku gemas. Aku hanya ingin mencubitnya sekali saja!”

Princess bersembunyi di belakang kaki sang paman. Kepalanya menyembul menunjukkan ekspresi polos. “Om Badai, mengapa Tante Kedasih selalu mencubitku? Aku tidak mau dicubit.” Pelupuk matanya berair.

“Princess sayang, Tante Kedasih gemas padamu. Karena matamu biru dan rambutmu pirang,” Badai mengusap genangan air mata si gadis kecil sebelum tetesan-tetesan itu meluncur di kedua belah pipinya yang tembam merah merona bak buah persik matang.

Princess mendongakkan kepala. “Mata dan rambut mommy juga sama sepertiku. Tapi kenapa Tante Kedasih tidak mencubit mommy?” protesnya.

Kedasih tergelak. “Sst, saat mommy sedang tidur, sebenarnya Tante juga sering mencubitnya.” Telunjuk wanita cantik itu memberi isyarat di depan kedua bibirnya.

“Benarkah?” mata Princess mengerjap. “Bagaimana dengan om yang ada di laptop itu? Om itu juga bermata biru dan berambut pirang seperti aku dan mommy,” tunjuknya pada laptop Badai yang diletakkan dalam keadaan menyala di atas meja.

Pria yang muncul di layar melambaikan tangannya. “Halloo…” sapanya kepada Princess. “Bahasa Indonesiamu sangat fasih ya,” pujinya. Princess mendekat dan mengangguk riang.

Kedasih turut menghampiri, “Kau sedang mengobrol dengannya dari tadi?” mata Kedasih memberi isyarat pada suaminya. “Hai, Mario. Bagaimana kabarmu?” pandangannya beralih menuju layar.

“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja. Kau dan kandunganmu selalu sehat kan?” Mario tersenyum. Bukan hanya Mario yang berada di dalam layar. Camelia dan Rudy duduk berderet di sebelahnya. “Kedasih, elo ngelahirin di Indonesia aja. Kita balapan ngelahirin, yuk! Setelah lulus kuliah berdua sama Badai di Kanada, terus kalian nikah di sana. Kalian malah pindah ke Inggris. Nggak lama lagi bunga bungur di rumah mertua lo pada mekar. Jadi, kapan kalian pulang?” Camelia menyerobot layar monitor dari Mario.

“Istriku, Mario belum selesai mengobrol dengan Badai.” Rudy menarik Camelia agar jangan terlalu dekat dengan layar monitor.

“Sayang, si ipin dan Upin udah terlalu lama ngobrolnya. Giliran kita dong, mumpung ada Kedasih juga. Gue kangen banget sama dia,” Camelia memberengut dengan gayanya yang manja.

Kedasih tersenyum. “Kelihatannya kalian berdua sangat bahagia, ya.”

Camelia memamerkan kemesraannya dengan Rudy. “Sebenarnya ada yang mau ditanyain sama Mario, tuh!”

“Saban hari Badai kirim chat mesra ke Mario. Gue jadi sangsi apa suami lo masih abnormal kaya dulu?” ungkap si gadis tomboy yang akan segera menjadi seorang ibu.

Badai mendelik tidak terima akan perkataan Camelia. “Hey, mana ada aku chat sama Mario. Ngobrol aja baru sekarang. Beberapa hari yang lalu ponselku hilang!” runut Badai gamblang. “Iya kan, sayang?” Badai meminta pembelaan dari istrinya.

“Terus siapa ya, yang pakai akunmu, kirim stiker genit dan menyapa Mario setiap hari di BBM?” Rudy turut menambahkan.

“Wah, ada yang membajak ponselku.” Badai menatap Kedasih.

“Apa yang dibicarakan oleh Badai di BBM denganmu, Mario?” Kedasih penasaran.

“Abaikan saja perkataan Camelia. Itu bukan masalah besar, kok!” Mario mengangkat alisnya seraya tersengih. “Aku percaya kalau Badai sudah berubah menjadi laki-laki normal sepenuhnya. Kalian sudah bersama selama lima tahun, kan? Seandainya dulu aku berhasil meraih beasiswa ke Kanada bersama kalian, tentu aku yang akan memenangkan hatimu, Kedasih. Aku benar-benar kaget begitu mendengar kalian memutuskan untuk berumah tangga sambil menyelesaikan kuliah di Kanada. Setelah lulus kuliah, kalian tidak pulang ke Indonesia malah memutuskan untuk bekerja di Inggris dan tinggal bersama Kak Gia.” Mario menghela napas dalam-dalam. “Untunglah di saat aku patah hati karena kamu, aku dipertemukan dengan Friska oleh Kak Triko dan Putri Erlia yang baru saja bertunangan. Kuharap kalian sudah pulang ke sini saat pernikahan kami berlangsung bulan depan,” tandasnya.

“Selamat ya, Mario. Kami turut berbahagia untuk pernikahanmu dengan Friska. Kami sudah mendengar sedikit banyak tentang hubunganmu dengan Friska dari Obby dan Kak Triko. Kabarnya kalian akan menikah bareng dengan Kak Triko ya?” Mata Kedasih dan Badai berbinar ceria saling berpandangan satu sama lain. Princess yang sedari tadi hanya diam menyimak tiba-tiba memurungkan wajahnya. Semua perhatian tertuju padanya.

“Princess sayang, masa depanmu masih sangat panjang. Suatu saat nanti kamu akan menemukan pangeran impianmu. Mungkin sepuluh atau sebelas tahun lagi…” perkataan Mario terhenti. Si gadis kecil terisak pelan menyela ucapannya, “Tapi Om, hanya Om yang aku suka,” akunya terus terang.

Mario tersenyum berusaha menenangkan. Semua perhatian tersita olehnya. “Jika Om menikah, kamu harus datang ya, Princess! Berjanjilah akan menjadi gadis yang baik demi Om! Princess mau kan? Jadi, Om mohon…” lagi-lagi ucapannya terhenti.

“Baiklah, aku akan mengembalikan ponsel Om Badai. Dan aku tidak akan menggunakan BBM Om Badai lagi untuk menggoda Om Mario!” Bahu Princess berguncang.

Semua wajah melongo terkejut menatap Princess. “Maafkan aku, Om Badai. Aku tidak bermaksud mengambil ponsel Om. Aku hanya ingin mengobrol dengan Om Mario. Aku suka Om Mario.”

Kedasih mengusap kepalanya lembut. “Sayang, tidak apa-apa.” Dianggukkan kepalanya berusaha menenangkan perasaan si gadis kecil yang sedang terluka. Sebenarnya ia tahu kalau ponsel suaminya tidak hilang. Setiap malam saat ia ingin mengucapkan selamat tidur kepada keponakannya itu, ia melihat sang gadis kecil sedang asyik memainkan ponsel suaminya hingga si gadis kecil jatuh tertidur.

“Baiklah, kami tunggu kepulangan kalian ke tanah air secepatnya!” Mario menutup pembicaraan diiringi lambaian tangan Camelia dan Rudy.

Badai duduk terdiam merenung. Ponsel miliknya yang diduga hilang telah diletakkan di atas meja oleh Kedasih. Berkali-kali Princess meminta maaf padanya namun telinganya seakan tidak mendengar apa yang diucapkannya. Bahkan celotehan Kedasih yang menyatakan ingin segera pulang ke Indonesia untuk melahirkan bersama Camelia dan melihat pesona bunga bungur yang bermekaran di rumah Badai pun tak juga didengarnya.

“Sayang, kau kenapa?” disentuhnya punggung Badai hangat oleh sang istri tercinta membuatnya terkesiap dari lamunan panjangnya.

“Tante, apa Om Badai tidak memaafkanku?” Princess bergumam pelan menarik rok yang dipakai Kedasih.

Badai menatap lurus ke dalam bola mata sang keponakannya yang mungil. Sejurus kemudian dagunya berayun seraya melemparkan senyuman dan segera mengangkat tubuh kecil itu ke atas pangkuannya. “Sebagai tanda pemberian maaf, izinkan Om untuk mencubit pipimu. Karena sama seperti tantemu, Om juga sangat gemas padamu!”

Princess tidak memberikan perlawanan yang berarti. Sambil memejamkan mata, ia pasrah menerima cubitan dari om dan tantenya. “Baiklah, Princess. Dengan ini aku telah mengembalikan namamu yang kupinjam dulu! Sekarang kita impas kan?”

#SEKIAN#

Namamu KupinjamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang