Chapter #6

341 73 3
                                    


“Friends, cepetan filmnya dah mau mulai nih!” Mario mengibaskan 5 lembar tiket di tangannya.

Badai dan Kedasih mengekor di belakangnya. Camelia menarik tangan Rudy berjalan cepat ke arah Mario dan kawan-kawan. Jagung pop yang dipegangnya sempat jatuh berhamburan beberapa kali. Setelah mereka berkumpul Mario menyerahkan kelima lembar karcis kepada petugas yang berjaga di pintu bioskop. Karcis-karcis itu kemudian disobek oleh sang penjaga. Salah seorang wanita di antara penjaga itu menggiring mereka memasuki ruangan yang gelap hanya bercahayakan LCD layar film yang terpampang sangat besar di muka ruangan. Tangga berundak-undak berlapis karpet merah sempat membuat langkah Camelia nyaris jatuh terjungkal. Untung ada Rudy yang berhasil menahan tangannya. Wanita penjaga tadi menyorotkan lampu senter yang digenggamnya ke arah sederet bangku kosong di samping kanan mereka. Tepat di baris ke-5 dari muka ruangan.

Kedasih duduk di tengah-tengah antara Badai dan Mario. Sedangkan Rudy dan Camelia terpisah oleh sepasang gadis yang duduk di sebelah Badai. Kedua gadis itu menolak bertukar kursi dengan Camelia dan Rudy yang tidak ingin terpisahkan dari ketiga kawannya. Tampaknya ruangan sudah dipadati oleh para penonton. Film pun sudah akan dimulai. Gema suara musik horror  mengalun membuat bulu kuduk Kedasih berdiri. Baru dimulai saja ia sudah mulai ketakutan. Jemari tangan kirinya meremas punggung tangan kanan Badai yang duduk di sebelah kirinya. Wajah aktor yang menyeramkan tampil di layar, Kedasih memalingkan mukanya ke dada Badai. Mario mengamati tingkah Kedasih yang sedang ketakutan itu. Ditatapnya Badai yang mengurungkan niatnya untuk mengunyah pop corn.

Badai menyadari bahwa Mario sedang mencemburuinya. Ia mendorong Kedasih untuk duduk kembali menghadap layar.

“Aku takut, Dai,” lirih Kedasih.

“Gak apa-apa, nanti juga terbiasa. Supaya enggak takut, coba deh makan pop cornnya!” saran Badai.

Badai mengedipkan sebelah matanya pada Mario. Kontan Mario menawarkan jagung pop di tangannya kepada Kedasih. Disambutnya penganan ringan itu dengan suka-cita.

“Konon kalau kita makan jagung pop saat menonton film layar lebar bisa mengurangi ketegangan loh!” promosi Mario. Ia berusaha mencuri perhatian Kedasih.

Kedasih mulai menikmati jagung berondong pemberian Mario. Setelah beberapa menit berlalu ia masih belum dapat menghilangkan perasaan tegang yang merasuki jiwanya. Tangan dan kakinya gemetar. Lagi-lagi ia menggenggam tangan Badai dan menundukan kepalanya ke pangkuan Badai seraya memejamkan mata dan menutup telinga kanannya. Sikap garang yang dimiliki Kedasih saat pertama kali berjumpa Badai hilang sudah. Dibalik sikap tegasnya ternyata Kedasih memiliki sifat penakut. Ia phobia dengan film thriller. Melihat Kedasih yang berlindung pada Badai membuat Mario tampak marah kepada Badai. Ia memberi isyarat kepada Badai untuk segera melancarkan aksi yang direncanakannya.

Badai melepas genggaman Kedasih. Kedasih membuka matanya, Badai menyuruhnya untuk duduk ke posisi semula. Mario menarik Kedasih untuk merebahkan kepalanya di dada Mario.

“Kalau kamu takut, kamu bersandar saja di bahuku!” ungkapnya dengan nada lembut.

Badai menoleh jauh ke arah tempat Camelia dan Rudy duduk. Sesaat setelah itu ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Rudy. Ternyata di sebelah Rudy masih terdapat satu buah bangku kosong yang masih terlipat ke depan. Badai membuka lipatan kursi tersebut dan duduk di samping kiri Rudy. Rudy menatapnya sekilas dengan mimik heran.

Tayangan semakin menegangkan, suasana kegelapan malam menjadi setting cerita dalam film yang sedang mereka tonton. Suasana malam yang mencekam. Seorang gadis sedang berlari-lari membawa sebuah pisau belati yang terhunus mengkilat tajam. Sesosok pria dengan pakaian tertutup mantel bersembunyi di balik tumpukan kotak besi berukuran besar. Pelabuhan laut menjadi setting cerita tersebut. Pria itu berusaha menahan napas agar tidak diketahui persembunyiannya oleh si gadis.

Namamu KupinjamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang