Chapter Three

1K 104 5
                                    


- Joseon, 1617 M -

Seorang pria duduk tenang di perpustakaan, tampan dan bersahaja, Luhan. Dengan tekun ia membaca dengan ditemani gurunya. Awalnya memang seperti itu. Namun lima belas menit kemudian, dia mulai gelisah dan menghela nafas terus menerus sambil mengerutkan dahi.

“Yang Mulia, sikap seorang bangsawan yang baik ialah ketenangan dan keanggunan. Singkirkan kegelisahan, bacalah dengan tenang dan serap maknanya,” ujar sang guru.

“Haaah,” keluh Luhan lagi untuk kesekian kalinya.
“Mana bisa membaca buku dengan tenang. Aku benci belajar. Paman tahu sendiri, kan, aku lebih suka melakukan kegiatan fisik daripada duduk di kursi. Di sini pengap dan membosankan, membuatku mengantuk. Mana bisa menangkap pelajaran apapun dari buku yang aku baca.”
Luhan merengek pada gurunya yang rupanya juga pamannya.

“Yang Mulia, sebentar lagi Anda akan dilantik sebagai Putra Mahkota. Setidaknya harus belajar mengenai silsilah kerajaan dan filosofi dasar. Kalau seperti ini terus bagaimana Anda akan bisa jadi panutan,” terang sang guru.

“Ya, ya, aku tahu. Tapi, bisakah Paman memanggil namaku tanpa embel-embel Yang Mulia? Entah kenapa aku benci mendengar panggilan itu,” protes Luhan yang makin kesal.
“Dan tolong ijinkan aku istirahat sebentar, ya? Punggungku pegal sekali.” lanjutnya sembari mengerang memijit pinggulnya.

“T..tap..tapi, mana boleh hamba memanggil Yang Mulia hanya dengan nama kecil. Bila ada seseorang yang mendengar, hamba bisa langsung dihukum, digantung dan..”

“Paman, sudahlah, kita hanya berdua,” potong Luhan
“Dan tidak ada yang menguping percakapan kita. Sesuai perjanjian dulu, ketika sedang berdua aku melarang paman memanggilku dengan sebutan itu. Aku benci. Dan jangan menyebut diri paman 'hamba', anggap aku keponakanmu yang biasa.”
Luhan protes dengan cepat dan tegas, membuat Pamannya terkesiap.

“Haaah, baiklah,” ucap Guru Jung, nama paman Luhan, pasrah.
“Paman akan menurutimu. Tapi, sudah lama ingin tanya, kenapa kau tidak ingin menjadi putra mahkota?" Sorot matanya berubah sedih.

“Kenapa masih bertanya? Seharusnya paman lebih tahu alasannya ketimbang aku, kan?” jawab Luhan acuh.
Lalu menyandarkan tubuhnya ke kursinya. Ia mulai memejamkan matanya. Namun tidak betul-betul tertidur. Pikirannya kembali pada saat ia berusia 10 tahun.

---

Luhan kecil berjalan-jalan ke pasar desa. Ia sangat senang bisa kabur dari istana dan berkeliling di sepanjang jalanan desa. Namun dirinya juga tahu, bahwa ia tidak mungkin dibiarkan kabur sendirian. Pasti pengawalnya mengikutinya. Yang tak lain adalah pamannya sendiri.
Yang membuatnya lebih senang lagi, pamannya tak berusaha memaksanya pulang, hanya mengawasi dirinya dari jauh.

Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia pun pergi ke berbagai sudut desa sepuasnya. Mencoba berbagai macam hal baru. Ekspresinya terlihat lucu dan menggemaskan, bahkan pamannya yang mengawasinya dari jauh pun tak hentinya ikut menyunggingkan senyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah polos keponakannya.
Luhan berlari kesana kemari tanpa arah. Tahu-tahu sudah sampai di perbatasan desa.

Disana ia melihat beberapa anak desa sebayanya sedang bermain layang-layang. Penasaran, dengan hati-hati Luhan mendekati mereka.
"Hai semua. Apa aku boleh ikut bermain bersama?" tanyanya.

Anak-anak itu terkejut, lalu menoleh pada Luhan. Mereka melongo, menatap Luhan dari atas sampai bawah, kemudian saling pandang satu sama lain. Semua tak ada yang menjawab pertanyaan Luhan tadi, sampai salah seorang dari mereka membuka suara.

"Hei, kalau kulihat dari penampilanmu, sepertinya kau seorang Tuan Muda. Aku juga belum pernah melihatmu selama ini. Kau bukan orang sini, kan?" ujar seorang anak kecil berwajah tegas dan cukup tampan untuk seorang anak petani.

Two MoonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang