-
-
-Xiumin.
Dia menggandeng erat jemari Kai saat melangkah keluar dari dalam gua. Sedikit merasa kecewa, tetapi tetap menyunggingkan senyum. Adiknya sempat bingung sesaat, namun lebih banyak diam dan tak menunjukkan reaksi apa-apa lagi.Seoul nampak berubah. Seingatnya beberapa waktu lalu, Seoul tidaklah selengang ini. Atau setidaknya tak seberantakan ini, bahkan dari kejauhan nampak sangat indah, biasanya. Ia bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di kota kelahirannya. Pikirannya bercampur aduk dan tak bisa menyimpulkan apapun.
Bahkan sepanjang jalan ia dan adiknya yang menyusuri hutan pinus, untuk turun gunung, tak menjumpai seorang pun yang lewat di sana.
Seharusnya, paling tidak, ada seorang tukang pencari kayu bakar ata yang hanya sekedar melewati hutan ini.Makin jauh turun, pepohonan mulai jarang dan jalan setapak terlihat. Mungkin jalan yang sering di lalui oleh penduduk desa setempat, pikir Xiumin.
Lelah dan perut mereka mulai bernyanyi. Xiumin menoleh ke belakang, mendapati adiknya yang masih menundukkan kepalanya, cemberut. Xiumin kasihan pada Kai.
Ia juga sedang merasakan hal yang sama, namun demi adiknya, ia berusaha tegar. Di lihatnya sekeliling untuk mengalihkan pikirannya. Beberapa pohon apel tumbuh di pinggir jalan setapak itu. Apel - apel itu terlihat sangat merah dan membuatnya berliur.
'Apa karena aku sedang lapar jadi aku berliur?' pikirnya.Ingin sekali ia mengambilnya, tapi bagaimana, ia tak bisa memanjat pohon.
Matanya membelalak, tak di sangka, Kai sudah lebih dulu memanjat dan memetik beberapa buah untuk mereka. Xiumin menganga takjub akan keahlian Kai yang tak seperti gadis remaja lainnya. Xiumin pun menyunggingkan bibirnya, nyengir lebar.
Sembari beristirahat di bawah pohon apel itu, Xiumin mengerling geli ke arah Kai."Eonni, berhenti menatapku seperti itu. Kau seperti sedang melakukan pemeriksaan x-ray padaku dan itu membuatku merinding, kau tahu," tegur Kai kesal tanpa memandang ke arah kakaknya, berusaha menutupi rasa malu sebetulnya.
"Dari mana kau belajar memanjat pohon seperti tadi?" Xiumin mengelap apel - apelnya dengan kaus yang ia pakai.
"Sehun yang mengajarkanku," jawab Kai berusaha bersikap santai.
"Ah," Xiumin mengangguk paham.
Merasa tak enak dan canggung setelah melihat raut wajah Kai yang murung lagi, di ulurkannya apel yang sudah ia bersihkan."Eonni, apa kau, merasa kecewa kita sudah pulang ke Seoul?" tanya Kai.
"Tidak dan iya," jawab Xiumin sambil terus mengunyah apelnya.
"Maksud eonni?" Kai bingung.
"Sudahlah, tak usah membahas hal ini lagi. Kau membuat perutku tak nyaman, aku sedang mencoba menelan apelku,"
"Memang apa hubungannya makan dengan membahas hal kemarin? Aku.. hanya ingin tahu saja kok," Kai menunduk, juga merasa tak enak atas apa yang baru saja ia tanyakan.
Xiumin tak menjawab, matanya mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan bodoh ini. Lalu ia terpaku pada salah satu sisi batang pohon apel itu. Seperti melihat sesuatu. Ia bangkit dan meneliti batang pohon yang sebagian tertutup lumut dan tumbuhan parasit lain.
"Eonni? Ada apa? Kau melihat apa?" Kai ikut penasaran dan berdiri mengikuti kakaknya.
Xiumin menjulurkan tangannya, menyingkirkan sedikit lumut yang tertempel pada batang pohon apel itu. Dengan gemetar, ia membersihkan tumbuhan parasit di sekitar batang apel itu.
"Kai, seharusnya kau melihat ini," Xiumin mundur supaya adiknya bisa melihatnya."Ap..oh?!!" Kai menutup mulutnya terkejut tertahan, merasa terharu. Ia usap lembut batang pohon itu.
"Sehun-ah, sejak kapan kau mengukir ini di sini?" ia berbisik pada dirinya sendiri.
"Dasar! Bodoh sekali kau, heh?!" Kai tersenyum getir, lalu terdiam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Two Moons
FanfictionXiumin dan Kai tak pernah menyangka akan mengalami hal yang luar biasa dalam hidup mereka. Bagaimana tidak, karena melarikan diri dari kejaran renternir, mereka malah bersembunyi di dalam bangunan kuno. Di sanalah awal semua petualangan menegangkan...