III. Sebuah Cerita

7.7K 899 234
                                    

*Selamat berakhir pekan para sibukers, terimakasih telah selalu berkunjung.*

    —-oѺo-—   

EMBUN pagi berkilauan dalam terang, menciptakan jejak lembab pada pekarangan. Aku membawa Dave berjalan-jalan keluar dengan kursi roda, melewati beberapa mata pelayan. Entah karena mendapati Dave keluar kamar untuk sekian lama atau karena hal lain, tapi ekspresi kaget yang mereka tunjukan sedikit aneh, bukan kaget yang didominasi oleh terkejut melainkan takut atau ngeri.

Apa mereka takut mendapat masalah karena aku membawa Dave keluar?

Karena rencana ini, aku harus bangun lebih awal untuk membangunkan Dave agar kami dapat berendam bersama—sesuai janjiku, memijat tubuhnya yang telah terlihat kaku, dan membuatnya siap dengan dry fit marun polos serta sweatpants kelam. Senyum tipisku terkembang, mengingat percakapan bodoh pagi tadi.

"Hebat sekali kau Dave, dari semua kematian pada tubuhmu, satu yang penting itu bahkan masih berfungsi dengan baik. Aku curiga jangan-jangan sebenarnya kau melihat dan menikmatiku, hmm? Bagian bawah tubuhmu itu tak bisa berbohong, kau menyukai setiap kali kita berendam bersama seperti ini. Akui saja."(tidak usah dipermasalahkan lebih lanjut, please ^_<)

"Dave, kau tak keberatan 'kan jika mengenakan pakaian ini? Tidak akan membuatmu dingin. Pagi ini cukup cerah, kita akan berjemur di luar."—"Kau tak menyukainya?"—"Terserah, kau dapat mengganti pakaianmu sendiri jika tak suka."

Jangan katakan, karena aku pun sadar betapa konyolnya itu—seolah ia menanggapiku saja. Tapi aku menyukai bicara dengannya, setahun ini Dave membuatku cukup banyak bicara. Benar-benar bicara, bukan hanya kata tanpa jiwa.

Kami tiba di taman belakang, menyusuri ubin-ubin yang membentuk jalan setapak berpagar semak setinggi 60 cm mungkin. Meski ada gazebo di sini, tapi aku tak berencana menggunakannya, aku memilih sepetak ruang terbuka tak bertudung—ada bagian ubin yang membentuk daerah melingkar cukup luas, dengan bunga-bungaan tak sejenis yang memagari lingkaran ini.

Membentangkan selimut tak terpakai yang kudapat dari gudang, aku duduk di atasnya sambil memandangi Dave yang terduduk diam di kursi rodanya, ia diserang berkas-berkas cahaya mentari. Diserang? Aku terkekeh diam, mungkin diberkati adalah kata yang lebih tepat. Terpaan berkas cahaya itu membuat Dave tampan dengan cara yang lain—berbeda dengan yang biasa aku lihat.

Rambut midnight brown-nya jadi tak segelap itu, manik kelabunya terlihat lebih jernih bagai kristal, dan kulitnya pun lebih berwarna. Ia bagai bercahaya—mengambil perhatian mata untuk melihat kepadanya. Dingin yang ia pancarkan menjadi sejuk, berbeda dengan dingin yang membekukan saat ia berada dalam gelap.

"Kau berbeda di bawah cahaya Dave, aku tak pernah membayangkan sosok malaikat akan cocok padamu sebelum melihatmu di sini." Kami berpandangan bagai kawan akrab. "Tapi, kau lebih cocok dalam kelamnya malam, Dave." Aku berbisik rendah, benar-benar menganggap bahwa ia mengerti apapun yang kukatakan.

Aku merebahkan diri, menutup mata. Menarik dalam-dalam udara segar, seolah merindukannya. "Mentari itu membuatku teringat satu kisah, Dave." Aku berguman hambar, suasana menyenangkan sesaat lalu menguap seiring tarikan napasku yang hendak memulai dongeng.

"Biar kuceritakan satu kisah padamu, Dave. Satu kisah tentang gadis bodoh yang membawa kehancuran untuk keluarganya."—"Jika kau tak tertarik, hanya tutup telingamu Dave, karena aku akan tetap bercerita." Aku benar-benar tidak waras.

"Kau percaya pada kebaikan hati atau ketulusan, Dave? Jika kita berbuat baik, kita akan mendapatkan kebaikan, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya, bahwa cinta akan menemukan jalannya, cinta akan membuatmu kuat dan bahagia?

ASHLYN [Running into Mr. Billionaire]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang