13. Tentang Rasa

9.2K 686 192
                                    

Copyright2017©Anita_pardais

Aku diam bukan berarti tak mengerti. Tapi beginilah aku. Apa adanya. (Rangga to Rindu)

****

Mas Rangga tadi aku ke dokter sama Mita. Kata dokter semuanya baik. Cuma ibunya harus jaga pola makan. Katanya magh aku juga kambuh. Makanya tadi pagi perut aku mual banget, muntah-muntah terus.

Angga baru saja membaca chat yang barusan dikirim Rindu. Dia saat ini masih disibukkan dengan peralatan bengkelnya. Rambutnya yang tadi rapi sekarang sudah acak-acakan. Tangannya sudah berlepotan oli bahkan di kemejanyapun terkena percikan cairan hitam tersebut.

Angga menghela nafas sebelum membalas pesan Rindu. Sesungguhnya dia tak suka diganggu jika sedang di tengah pekerjaan seperti ini. Apalagi intinya Rindu hanya mencoba mencari perhatiannya. Ya sudah kan, sudah ke dokter pasti dikasih obat. Apa lagi? Pikir Angga.

Ya sudah diminum obatnya. Terus makan. Istirahat.

Akhirnya Angga mengetikkan pesan itu dan langsung mengirimkannya pada Rindu. Dia sadar dia tak bisa berbasa-basi. Terlalu rumit jika harus memikirkan panjang-panjang hal apa yang akan dikatakannya. Daripada tak dibalasnya. Toh tak apa-apa jugakan kalau Mita yang mengantarnya, sama sajakan.

Angga mengantongi ponselnya tapi baru saja dia akan melanjutkan pekerjaannya tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi. Anggapun mengambil ponselnya lagi dan dengan cepat membaca pesan yang dia sudah tau itu dari Rindu.

Pengen makan sup bola-bola ikan.
Coba mas bisa pulang :(

Angga mengatupkan bibirnya dengan terpejam sesaat setelah membaca pesan Rindu. Rasanya ada perasaan aneh melihat emoticon sedih yang dikirim Rindu. Rasa Kasihankah?

Entahlah. Rasanya seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menyumbat dadanya. Tapi Angga tak tau apa, atau karena apa. Tanpa sadar Angga kembali menghela nafas untuk mengusir perasaan itu sambil mengetik balasan untuk Rindu.

Makan yang lain dulu. Mas pulang malam. Harus makan, jangan sampai gak makan. Kasian dedek.

Angga sudah akan mengirimkan pesan itu tapi buru-buru Angga menambahkan lagi.

Kasian ibunya juga. Nanti tambah sakit.

Send. Pesan itu langsung terkirim untuk Rindu. Angga tak langsung menyimpan ponselnya karena dia tau Rindu akan segera mengirimkan balasannya. Dan benar saja. Sesaat kemudian ponselnya berbunyi lagi.

Iya. Mas hati-hati.

Angga tak membalas apa-apa lagi dan langsung menyimpan ponsel tersebut. Sesungguhnya ada sedikit keresahan dalam hatinya tapi dengan cepat dia mengusir perasaan itu.

Sesaat kemudian lelaki dingin itu telah melupakan pesan Rindu karena disibukkan dengan pekerjaannya kembali. Yakni membongkar pasang onderdil si burung besi.

****

Jam menunjukkan pukul empat sore saat Angga dan tiga orang team nya tengah beristirahat menikmati waktu ngopi sore sebelum lanjut lagi dengan pekerjaan mereka tadi yang belum selesai.

Mengerjakan perawatan dan pengecekan pesawat memang membutuhkan waktu yang lama. Bisa mencapai sepuluh jam bahkan hitungan hari tergantung dari jumlah teknisi serta kehandalan skill dari masing-masing mereka. Mengerjakannya tidak boleh sembarangan dan harus detil karena kesalahan sedikit saja berakibat sangat fatal.

Angga mendengar rekan-rekannya bercanda dan mengobrol ringan sambil menikmati camilan yang tersedia di meja cafe yang mereka tempati sekarang. Di luar cuaca sedang hujan. Membuat suasana semakin nikmat ditemani secangkir kopi hangat yang melewati tenggorokan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di ujung jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang