Sesosok lelaki kini sedang terbaring lemah di bangkar rumah sakit. Tangan kanannya terdapat selang infus yang berisi cairan vitamin. Bibirnya terkatup rapat. Kelopak matanya masi tertutup. Tanda kalau ia belum sadar dari tidurnya.
Berbagai sanak saudara sudah memenuhi kamar pasien. Raut wajah mereka menggambarkan kekhawatiran yang teramat sangat. Bahkan wanita paruh baya dari si lelaki sudah bermata sembab dan berhidung merah.
"Pa, bagaimana ini? Mama tidak ingin kehilangan Felix untuk kedua kalinya. Mama takut pa." dengan suara sumbang Rini berbicara.
"Ma, kita serahin aja pada Tuhan. Yakin. Felix pasti kuat. Felix kan jagoan kita!" ucap Handoko dengan sekuat tenaga terdengar normal. Pasalnya ia sendiri kini juga ingin menangis melihat anak semata wayangnya yang sudah terbaring lemah selama 4 hari.
See, mereka kini sudah mencoba saling menguatkan.
Rini bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju Felix. Dengan segenggam keyakinan ia melangkahkan kakinya kemudian duduk di samping Felix dan meraup tangan kirinya.
Menggenggam tangan dingin Felix dan menciumnya. Sambil membisikkan kata kata sayang untuk Felix. Untuk pertama kalinya berbicara dengan anaknya lagi.
Dengan terbata bata, Rani membisikkan kata kata pembangun untuk Felix. Berulang kali air matanya menetes di tangan Felix.
Entah keajaiban darimana, jari Felix bergerak. Sangat terasa di pipi hangat Rini karena ia memang menaruh tangan Felix di pipinya. Mungkin ikatan batin antara anak dan ibu yang menggetarkan alam bawah sadar Felix.
Rini terkejut bukan main. Kini wajahnya dipenuhi kegembiraan. Ia berteriak kepada orang disekitarnya kalau Felix sudah menunjukkan tanda akan sadar. Buru Buru ia memencet tombol merah yang berada di sisi kanan kasur.
Kamar rawat dipenuhi ucapan syukur kepada Tuhan. Yang tadinya mencekam kini sudah lebih hidup.
Dokter datang dengan 4 perawat dibelakangnya.
"Bu dokter, jari anak saya bergerak! Saya mohon sadarkan Felix bu!" ucap Rini histeris. Handoko mengangguk menyetujui.
"Baik bu, biarkan kami melakukan kemampuan kami semaksimal mungkin. Bapak ibu semua bisa keluar, demi kelancaran pemeriksaan."
***
"Gimana sayang? Udah enakan? Felix mau apa? Mau buah? Atau apa? Sebutin aja, mama pasti turutin." ucap Rini seraya mengusap kepala Felix dengan sayang. Datar. Itu ekspresi Felix. Tak ada senyum hangat dari anaknya. Dengan enggan ia meminta air minum pada Rini. Ia tidak mau mengurangi jumlah gelas kaca rumah sakit jika ia nekat mengambil sendiri.
Felix memalingkan wajah dari Rini.
"Gua mau minum."
Rini mengambilkan segelas air untuk Felix dan meminumkannya. Masih dengan senyuman khas sang ibu.
"Gua kenapa bisa ada disini?" tanya Felix dingin. Bahkan ia lupa kalau ia sekarang sedang berbicara dengan ibunya, orang yang telah mengandung dan merawatnya.
Benci telah mengakar kuat dihatinya,
Rini hanya bisa mengulum bibirnya maklum. Ia tau kenapa anaknya bisa bersikap dingin seperti ini padanya. Tak ada lagi pancaran Kasih sayang dalam mata anaknya saat berbicara padanya. Ia ingin kembali ke masa dulu, namun semua sudah berubah.
"Kamu tadi koma, sayang. 4 hari yang lalu kamu dibawa kesini sama temenmu karena kamu keliatan kesakitan di sekolah. Emang ada apa, sayang? Kepala kamu kebentur?"
"Itu bukan urusan lo!" sahut Felix ketus. Kemudian ia membalikkan badan dan menarik selimut sampai menutupi wajahnya. Terlihat malas untuk berkomunikasi dengan Rini.