Cloud 2

57 3 0
                                    

Awan menggantung abstrak di pelataran khatulistiwa. Menutupi Sang Raja siang yang ingin menampakkan diri. Sepertinya bumi ingin memuntahkan isi hatinya lewat tetesan air hujan. Persis. Persis seperti suasana hati Aspasia kala ini.

Lagi lagi ia mendapatkan anak panah yang mendarat di hatinya. Ini yang kesekian kalinya. Hatinya bahkan sudah lusuh karena terlalu sering mendapatkan anak panah itu.

Ia terduduk lesu di kursi yang berada di tengah koridor sekolah. Sekarang, sekolah sudah sepi. Bel pulang sudah meraung sejak 30 menit yang lalu. Ia sudh setengah jam disini. Duduk. Sendiri. Sudah dipastikan siapa pun yang melewati koridor sekarang pasti akan mengira kalau ia adalah penunggu sekolah. Karena dengan posisi kepala yang ia tundukkan membuat rambut panjangnya menutupi hampir keseluruhan wajahnya. Ditambah suasana sekolah yang sepi dan mendung.

Duk.. Duk.. Dukk..

Suara pantulan basket memenuhi pendengaran Aspasia. Ia mengangkat wajahnya dan mencari sumber suara itu. Matanya bergerak liar dan ya!

She got that!

Lelaki itu, kini sedang memantulkan bola basket di lapangan yang jaraknya tak jauh dari tempat duduk Aspasia. Keringat berjatuhan dari dahinya. Tapi ia tak memperdulikannya. Ia terus men-dribble bola coklat itu. Gerakannya sangat gesit. Padahal ia hanya bermain sendiri.

Mata Aspasia tak bisa lepas dari permainan Felix. Bukan, bukan kegesitan permainan Felix tapi Felix lah yang mencuri seluruh perhatiannya.

Ia melangkahkan kedua kakinya dengan lebar mendekati ring dan ya! Dengan satu kali lompatan bola itu meluncur melewati lingkaran ring.

Kedua sudut bibir Aspasia sontak terangkat. Ia senang melihat Felix yang tidak pernah menyerah seperti ini. Ambisius. Itu salah satu yang bisa menggambarkan sosok Felix.

Dulu sewaktu pertama kali masuk SMA, ia hanyalah bocah ingusan yang kebelet gaul. Sampai akhirnya ia ditantang oleh kakak kelas untuk bertanding basket. Entah dapat bisikan dari malaikat mana ia langsung menyetujui. Aspasia pun sempat mengkhawatirkan kondisi Felix setelah bertanding. Karena jika Felix kalah, maka ia akan menjadi jongos kakak kelas itu selama 1 tahun.

Banyak yang yakin kalau Martin dkk lah yang menang, tapi diluar dugaan, Felixlah yang menang! Hampir semuanya tak percaya. Alhasil, Martin dkk harus membersihkan lapangan selama 1 tahun dan mengerjakan seluruh tugas sekolahnya.

Selama 1 minggu sebelum pertandingan, Felix terus berlatih. Setiap pulang sekolah sampai petang ia berada di lapangan basket sekolah. Awalnya ia asal asalan karena memang buta soal basket. Namun berkat tuntunan Aspasia melalui kertas kertas kecil di lokernya, ia menjadi mengerti.

Aspasia tau, Felix anak yang pintar. Ia hanya malas belajar. Ia yakin kalau Felix bisa menjadi hebat hanya dengan teori yang tidak dibarengi pratek dari yang ahli.

Aspasia kembali mengingat masa itu. Sudut bibirnya kembali terangkat ke atas.

Lucu, batin Aspasia.

"Hoi! Ngelamun aja. Senyam senyum lagi. Daritadi gue disini nungguin bola yang ada dibelakang kursi lo. Bisa minggir?" ucap Felix sedikit ketus.

Aspasia membulatkan matanya. Kini jantungnya berdetak lebih kencang. Keringat dingin mulai mengucur di wajahnya. Dengan gagu ia mengangguk dan bergeser.

Felix mengambil bola tadi, ia menatap Aspasia. Yang ditatap hanya menunduk sambil memainkan jarinya. Sampai satu pertanyaan yang membuat Aspasia reflek mengangkat kepalanya.

"Lo itu kalo gak salah yang nolongin gue kan kemarin pas turnamen basket?" tanya Felix dengan dahi sedikit berkerut.

Oh Tuhan, Felix mengenaliku!

***

AspasialovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang