Cloud 10

25 2 0
                                    

Felix mondar-mandir didepan UGD. Menunggu kabar dari dokter tentang keadaan Aspasia. Ia begitu frustasi.

Ia menghempaskan tubuhnya diatas kursi kemudian menjambak rambutnya dengan kasar.

Kenapa gua sangat mengkhawatirkan Aspasia? Arghhh!

Derap langkah terburu-buru menggema di lorong rumah sakit. "Nak Felix?" sapanya dengan nafas terengah-engah.

Felix mengangkat kepalanya "Ya, Bu Meli." Felix tadi memang sempat menelpon Bu Meli, wali kelas XI Sastra 2. Karena ia sama sekali tidak mempunyai kontak keluarga Aspasia.

Bu Meli mengambil posisi di sebelah Felix. "Bagaimana keadaan Aspasia nak?"

Felix menggeleng lesu. Ia sendiri juga tidak tau bagaimana keadaan Aspasia sekarang. Karena dokter yang menanganinya belum juga keluar.

Meli membongkar tasnya. Ia mengambil handphonenya kemudian mengetik sebuah nomor disana. Kemudian menempelkan ditelinganya.

Meli memberi isyarat pada Felix kalau ia akan membicarakan ini di ujung sudut ruangan.  Dan mengatakan kalau ia akan meninggalkan Felix sebentar.

"Halo, selamat malam. Apa benar ini nomor orang tua Aspasia? Begini bu, ada yang saya ingin bicarakan." sapa Meli yang kemudian berjalan menuju sudut ruangan.

Siapa pun yang tega menyekap Aspasia maka ia akan berurusan sama gua! Liat aja nanti. Gua bakal cari tau siapa dia!

Tangan Felix mengepal kuat. Bahkan kubu kubu jarinya sudah memutih. Kobaran amarah terlihat jelas di kedua matanya.

Entah kenapa Felix sangat membenci orang yang ingin atau bahkan sudah mencelakakan Aspasia.

Hanya Aspasia yang bisa membuat Felix khawatir setengah mati seperti ini.

Dan ia merasa dejavu dengan semua ini.

***
Aspasia melihat sekelilingnya. Ia berada disebuah tempat yang tak berujung dan bernuansa putih.

Ia melihat tubuhnya sudah terbalut gaun putih cantik selutut yang sangat pas ditubuhnya. Rumbutnya pun terurai bergelombang dan dikepalanya ada mahkota dari akar dan bunga asli.

"How beautiful I am?"

Ia menyusuri tempat itu dengan bertelanjang kaki.

"Kenapa tempat ini begitu sepi? Seperti hanya ada aku."

Aspasia berulang kali berteriak menanyakan apakah ada orang selain dirinya. Tapi yang terdengar hanya suaranya yang menggema. Tak ada jawaban.

Ia melangkahkan kakinya ke sembarang arah. Sampai ia melihat sebuah titik putih diujung sana. Karena penasaran ia pun berlari mendatangi titik itu.

Ia melangkahkan kaki memasuki lubang yang cukup besar itu. Ia terkagum bukan main melihat pemandangan didalamnya. Matannya berbinar senang.

Air terjun yang sangat cantik dengan suaranya yang menenangkan pikiran, taman bunga yang kelihatan begitu segar, sebuah danau dengan air jernih dan ikan-ikan dibawahnya, dan pohon rindang yang mempunyai kursi gantung di rantingnya.

Benar-benar Indah. Dengan antusias ia mendekati Taman bunga. Ia memetik satu tangkai bunga Mawar putih.

"Harum!" pekiknya. Ia sangat suka dengan bunga Mawar. Bunga favoritnya.

Ia membawa bunga mawarnya menuju ayunan yang menggantung cantik di dahan pohon. Ia tak sabar untuk duduk disana sembari menikmati suasana ini.

Ia mendudukkan dirinya di ayunan itu. Sebuah senyuman bahagia terlukis di wajah cantiknya. Aspasia memejamkan matanya. Ia benar-benar menikmati suasana ini.

Sebuah tangan menepuk pundak kanannya. Membuyarkan suasana tenang yang hampir ia serap ke dalam pikiran dan hatinya. "Zefanya?"

Aspasia mengernyit bingung, itu panggilan kecilnya. Hanya sedikit yang tau panggilan itu padanya. Ia menoleh kebelakang. Matanya terbelalak senang. Sedang apa ayahnya disini?

Tanpa aba aba ia memeluk ayahnya dengan erat. "Ayah?! Zeze kangen banget sama ayah. Bunda juga kangen sama ayah. Setiap malem bunda selalu nangis sama Tuhan. Kenapa waktu itu ayah pergi gak pamit? Zeze kan nyariin." tuturnya dengan wajah cemberut. Kini Aspasia terlihat seperti anak kecil yang baru bertemu dengan ayahnya yang baru saja pergi selama berhari-hari karena urusan kantor.

Ia benar-benar merindukan ayahnya.

Alardo tersenyum simpul ia menuntun putrinya menuju tepi danau dan duduk disana. Ia menepukkan pahanya, memberi isyarat pada anaknya untuk berbaring di pahanya. Kebiasaan yang sering ia lakukan, dulu.

"Sudah lama ya, kita tidak seperti ini, Ze. Hm,  Maafkan ayah, nak. Ayah belum bisa menceritakan apa yang terjadi dan mengapa ayah meninggalkan kalian. Tapi, percayalah. Itu untuk kebaikanmu dan bunda. Ayah sayang Zeze dan bunda. Oh ya, sampaikan salam ayah untuk bundamu ya. Ayah juga merindukannya. Dan bilang padanya untuk jangan meremehkan kesehatannya. Ayah tau ia sering lambat makan karena pesanan jahitan yang begitu banyak."

Aspasia menatap ayahnya. Ia mengangguk dan tersenyum. Andai bunda ada disini, pasti kebahagiaannya akan terasa lengkap.

"Zeze, ayah ingin bertanya padamu." Alardo menatap Aspasia yang kini sedang fokus memainkan bungan Mawar putihnya.

Yang ditanya pun hanya bergumam.

"Zeze, mau tidak ikut dengan ayah? Kita pergi ke surga." Aspasia berhenti memainkan mawarnya. Ia menatap ayahnya bingung.

"Surga? Ikut dengan ayah?" Alardo mengangguk pasti.

"Bagaimana dengan bun-" ucapannya terhenti dengan suara teriakan lelaki yang begitu ia kenal.

"Zefanya!? Kamu dimana!?"

Aspasia dan Alardo menoleh bersamaan ke sumber suara. Disana ada Felix. Dengan wajah kebingungan.

Aspasia melambaikan tangannya heboh. Ternyata juga ada Felix. "Felix! Disini!"

Dengan tergopoh-gopoh ia berlari ke tepi danau.

Felix meraup kedua tangan Aspasia. "Ze, kita harus pulang! Bunda mencarimu!"

"Tapi.. Bagiamana dengan ayah? Ayah, ayo kita pulang. Bunda pasti menyuruh Felix untuk menjemput kita."

"Tidak, Ze. Bunda tidak mengajak ayah. Hanya kamu, Zefanya."

Alardo menatap Aspasia dengan penuh Kasih sayang. "Ayah tidak bisa ikut dengan kalian. Karena kita.. Berbeda. Apapun keputusan mu, ayah akan menerima, nak."

"Zefanya, ayo pulang! Kita tidak bisa berlama-lama disini." kini Felix sudah mulai menarik Aspasia dengan sedikit.. Terburu-buru.

"Baiklah, tunggu sebentar Felix. Um, ayah. Zefanya pamit pulang. Maafkan Zeze tidak bisa ikut dengan ayah. Zeze ingin menjaga bunda. Zeze janji akan sering sering menjenguk ayah disini. Kalau bisa, Zeze juga akan mengajak bunda. Dan juga menyampaikan pesan ayah pada bunda. Pasti bunda akan senang!"

Alardo tersenyum maklum. "Tak apa, nak. Jaga bunda. Dan untukmu, Felix. Om titip Zeze padamu. Jaga dia. Ayah sayang padamu dan bunda." Alardo memeluk dan mencium kening putrinya dengan sayang.

Felix menggandeng tangan Aspasia dan berjalan keluar dari tempat ini. Meninggalkan ayahnya yang duduk sendiri dengan tatapan tak rela. Melihat punggung Aspasia yang menghilang di ujung titik membuatnya meneteskan airmata yang ia tahan sedaritadi.

"Ayah sangat merindukanmu, Ze. Kamu sudah tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan manis. Pasti banyak lelaki yang menggilaimu. Awas saja kalau mereka, melukai hatimu. Ayah akan tarik telinga mereka sampai panjang. Andai waktu bisa memberikan toleransi pada kita. Ayah ingin mendengarkan celotehan dari bibirmu tentang keseharian mu selama ini. Maaf ayah tidak ada di sisi kalian. Untuk saat ini dan selamanya." Alardo berbicara pada dirinya sendiri. Ia tersenyum miris.

***

AspasialovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang