Aspasia menuruni anak tangga dengan riang. Malam ini, ia memakai kaos putih polos bergambar kartun unicorn yang dilapisi baju kodok denim model dress sebatas lutut. Rambut coklatnya ia biarkan tergerai santai ditambah dengan bandana pita berwarna senada yang semakin mempermanis penampilannya.
Virendra menunggunya di bawah sambil memegang segelas susu putih, "Mau kemana, dek? Rapi amat. Biasanya juga jam segini masi ngebo."
Kakaknya ini selalu suka mengejeknya, "Dih, mau tau aja! Biarin sih, gerah banget liat adeknya yang unyu ini mau cantik, bilang aja kalo kakak iri!" Aspasia memeletkan lidahnya meledek kemudian ngacir ke ruang tamu dengan segelas susu hangat yang sudah berpindah ke tangannya.
Sebelum Aspasia bisa mendaratkan pantatnya dengan mulus di sofa empuk ruang tamu, Virendra sudah lebih dulu menarik salah satu sisi baju Aspasia, membuat sang empunya baju mau tidak mau tertahan.
"Duh, duh, duh, ampun, bos! Zeze cuma mau nyicipin susunya, kak Rendra yang ganteng. Boleh yak? Hehe."
Virendra membalikkan badan Aspasia, "Enak aja! Gak, gak, gak. Gih, buat sendiri sana. Mageran banget jadi cewek." ia sedang berusaha untuk menjemput segelas susunya tapi Aspasia begitu gesit. Untung saja, tidak sampai tumpah.
Aspasia memutar otak, dan satu ide terlintas di otak kecilnya. Mungkin akan ada animasi bohlam lampu yang disertai dengan suara 'ting' di samping kepalanya sekarang.
Ia menatap wajah kakaknya kemudian memasang jurus puppy eyes, ia yakin kakaknya pasti akan luluh, "Ayolah, kak! Kakak kan baik, beneran deh. Suwer!" dengan gaya yang menurutnya cute ia mengedipkan matanya berulang kali.
Rendra mendengus geli, ia mengacak-acak pucuk kepala Aspasia, adiknya ini selalu melakukan segala hal untuk mendapatkan apa yang dia mau, "Duh, kalo udah masang tampang mupeng kaya' gitu mah rasanya kakak jadi gak tega. Ya udah, ambil gih. Awas aja kalo gak dihabisin, nanti kakak tarik hidung kamu sampe ke depan rumah pak RT!" ia memencet hidung Aspasia dengan gemas.
Aspasia tersenyum puas. Meskipun ia sempat kesal karena rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah Rendra, tapi itu semua tergantikan dengan segelas susu hangat yang sangat menggoda tenggorokannya sedari tadi.
Ia mengecup pipi kanan Rendra sebagai ucapan terima kasih, kemudian ia berjalan menuju pantry, duduk dan meminumnya hingga tandas.
Susu putih adalah minuman favorit Aspasia juga Rendra.
Irin yang melihat kelakuan kedua anaknya hanya tersenyum. Anak-anaknya sudah tumbuh besar sekarang.
Setidaknya ia masih mempunyai alasan untuk bertahan di kehidupan yang kejam ini, setelah kehilangan Alardo, lelaki yang sangat dicintainya, 10 tahun lalu, ia sempat berfikiran untuk mengakhiri hidupnya menyusuli Alardo. Tapi, mengingat kehadiran dua malaikat kecilnya membuatnya menahan pikiran nekat itu.
Siapa yang tidak stres? Ditinggalkan oleh suami yang sangat dicintainya, belum lagi seluruh aset mewah milik suaminya harus disita karena kecurangan yang dilakukan oleh asistennya di kantor. Membuat kantor mengalami kebangkrutan dan akhirnya ditimpakan ke Alardo dan keluarganya.
Akhirnya, mereka bertiga pergi meninggalkan rumah mewah, yang dulunya adalah milik mereka. Mereka pindah mencari rumah kontrakan. Tak apa kecil, yang penting bisa menaungi mereka dari panas maupun hujan. Banyak rintangan yang dilalui Irin seorang diri. Tidak ada keluarga ataupun saudara Irin yang mau menolongnya kala itu. Semua pergi disaat dirinya membutuhkan sandaran.
Singkat cerita, Rendra mulai tumbuh menjadi sesosok anak yang kuat. Ia mulai mengerti kalau ia mempunyai tanggung jawab, yaitu melindungi adik perempuannya dan menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan posisi ayahnya. Rendra selalu mensupport dirinya untuk tetap kuat. Rendra berusaha sekuat tenaga untuk tidak menambah beban biaya Irin. Ia belajar dengan tekun agar bisa menembus beasiswa sampai kuliah.
Hasil memang tidak pernah mengejek usaha. Rendra berhasil. Ia bersekolah sampai tamat kuliah tanpa mengeluarkan sepeserpun. Semua berkat bantuan beasiswa yang terus ia raih. Bahkan ia lulus dengan IPK yang tinggi dan menggandeng julukan cumlaude. Dan sekarang, ia sudah diterima bekerja di perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia. Yang siapapun tau itu adalah impian hampir semua orang.
Irin memberanikan diri untuk membuka usaha jahit. Menggunakan tabungan terakhirnya. Ia bertaruh pada mesin jahit bekas yang baru saja ia beli di tukang loak.
Semuanya mengalir hingga sekarang, usaha jahitnya sudah mulai terdengar sampai luar daerah Jawa. Ia juga sudah membuka beberapa cabang di daerah Kalimantan. Selain jahitannya yang rapi, Irin juga adalah orang yang tepat waktu dan selalu melayani costumer dengan lembut. Karena baginya kenyamanan costumer adalah bayaran yang tidak bisa ditukar dengan apapun.
Kini ia sudah bisa membeli rumah dengan uang jerih payahnya sendiri. Rumah bergaya Amerika berlantai dua dengan taman kecil di bagian belakang, yang sangat cocok untuk sekedar berkumpul bersama keluarga atau mengadakan BBQ party.
Tapi, sudah hampir 5 bulan mereka menitipkan rumah itu pada Bi Lia. Asisten rumah tangga mereka dulu. Rumah itu penuh dengan kenangan.
Ada satu hal yang menahan mereka untuk kembali ke sana. Dan sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk kembali,
Sebuah tangan menggerakkan bahunya lembut. Menyadarkannya dari lamunan masa lampau. Ternyata Aspasia, ia menatap wajah Irin khawatir.
Irin menarik napas kemudian menghembuskannya pelan, membentuk senyuman penenang untuk Aspasia, "Ada apa, sayang?"
"Mama kenapa? Kok ngelamun? Lagi banyak pikiran, ya?" terselip nada khawatir disana.
Irin menyelipkan anak rambut Aspasia ke belakang telinganya dengan lembut, "Engga, mama cuman keingat sama pesanan ini, loh. Kok gak habis habis ya perasaan. Mungkin kalo terlihat wujudnya bisa membanjiri seluruh daerah Jakarta."
Aspasia terkekeh pelan, "Mama lebay ih, Zeze pikir mama mikirin apa. Itu namanya rezeki, ma. Harus disyukuri, itu kan nikmat dari Tuhan."
Irin tersenyum, anaknya sudah lebih dewasa sekarang, "Yasudah kalo gitu, ma. Zeze pamit ya, si Felix ngajakin keluar. Katanya dia gabut di rumah."
Irin mengangguk senang. Akhir akhir ini mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ia ikut senang saat tahu hubungan Felix dengan Aspasia semakin dekat. Meskipun tidak sedekat dulu.
Aspasia mencium tangan Irin kemudian berjalan keluar, "Hati-hati, ya. Titip salam untuk Felix, Ze!" Aspasia mengacungkan ibu jarinya selepas mendapatkan teriakan yang cukup menggelegar dari Irin.
Semoga dia cepat inget kalo kamu itu siapa, Ze.
***