BAGAI bencana badai tersirat di wajah Lema, dia mendatangi kelas Judy. Matanya tidak nengok kemana-mana. Ya langsung fokus pada perempuan dengan sifat paling cuek yang pernah Lema tahu.
Lema sedikit menyeruduk saat duduk di hadapan Judy. Tepatnya, duduk di bangku yang ada di depan perempuan itu.
Judy lantas mendongak, menatap heran wajah Lema yang panik.
“D-Daffa tadi pagi digebukin!” seru Lema, raut wajah panik dan mata bergerak cemas.
Seisi kelas menghentikan aktivitas mereka, melihat kepanikan di wajah Lema dan tentunya tertarik dengan topik ‘digebukin' yang dibawa oleh perempuan itu. Bagi mereka, sensasi adalah sesuatu yang memuakkan sekaligus menggali rasa ingin tahu.
Sedikit ragu, Judy mencopot earphone di telinganya. “Siapa yang digebukin? Dan kenapa gue harus peduli?”
Lema dengan gemas menarik tangan Judy, bermaksud keluar kelas. Judy tidak membantah, membiarkan perempuan mungil itu menariknya. Ketika mereka sampai di luar, Lema berbisik pelan.
“Kakak lo nyuruh temen-temen pacarnya buat gebukin Daffa. Sekarang Daffa di UKS, kakak lo di BK,” beritahu Lema, masih sedikit panik karena tadi melihat ruangan BK ramai dengan anak-anak. Namun karena jarak antar jurusan IPA dan IPS terpaut jauh, berita ini lebih cepat didengar oleh anak IPA. Apalagi karena ruang BK bersebelahan dengan kelas Lema, XI-IPA-5.
Untuk waktu yang cukup lama, Judy terdiam. Kemudian tersenyum sangat tipis.
“Terus?” tanya Judy acuh tak acuh.
“Ya terus?” balas Lema tidak percaya akan balasan Judy. Dia sudah berlari cukup jauh dari kelasnya ke kelas Judy, dan jawabannya cuma itu? “Dy, Amara masih kakak lo!”
“Emang gue nyuruh dia buat ngelakuin hal itu? Enggak, kan?” Judy mengedikkan bahu, santai.
“Tapi dia sayang sama lo,” balas Lema, pandangan matanya mulai melunak. “Kak Amara sayang sama lo.”
“Gue enggak peduli,” balas Judy dengan dengusan kecil, kembali ke kelasnya.
Lema termangu melihat kekeraskelapaan sahabatnya. Di lain sisi, Judy duduk di tempatnya lagi dan menyumpalkan earphone ke salah satu telinganya.
Jengkel sekaligus muak, Lema berseru. “Ya udah, kalo lo segitu enggak maunya punya kakak, mending kakak lo buat gue! Nyebelin! Dasar, keras kepala! Jutek!”
Lema berderap pergi. Mata masih mengikutinya seolah tidak mau luput dari berita hangat ini. Tidak ada yang simpati, hanya penasaran.
Ketika suasana mulai mereda, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Dan Judy tidak setenang tadi. Di balik wajahnya yang cuek, tangannya mengepal hebat. Ribuan tanya bersarang di otaknya, membuatnya sulit untuk bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
HSS (1): Daisy
Teen FictionKeluarga harmonis, teman-teman selalu ada di sampingnya, paras cantik, bahkan otak yang terbilang cerdas. Semua dimiliki oleh Judy. Apa pun yang kamu inginkan, dia punya. Tinggal sebutkan saja, Judy akan memberi dengan cuma-cuma-tentunya, dengan ca...