BAB 5

78.8K 9.3K 419
                                    

"BARIS, cepat!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"BARIS, cepat!"

Riuh suara pengurus siswa-siswi 2P, Pertukaran Pelajar, mengisi warna baru pada SMA Impian Indonesia. Banyak pasang mata yang penasaran, melihat dari balkon kelas mereka, sambil menilai dalam diam siswa-siswi yang berbaris di tengah lapangan. Sementara yang dilihat, masih banyak yang terkantuk-kantuk, memasang dasi dengan benar-tapi hasilnya tetap saja acak-acakan, dan mengelus perut yang meraung kelaparan.

Apel untuk siswa 2P dimulai jam lima dini hari.

Lagas mengetuk ujung tip puplennya pada papan jalan berisi runtutan acara hari ini. Sementara mata tajamnya menghitung dalam diam kepala-kepala siswa 2P. 47... 48... 49..., mana yang ke-50?

"Ram?" panggil Lagas langsung pada Ramy yang tengah merapikan barisan siswa. Tindakan Ramy tentu saja mendapat komentar pedas dari Lagas. "Mereka udah gede, masa baris-berbaris aja masih diatur sama kita? Woi, urus diri lo sendiri! Jangan bisanya ngurusin feeds Instagram orang doang."

Mereka yang dikomentari tentu saja langsung merapikan barisannya, menunduk gugup. Mau bagaimana pun juga, Lagas senior mereka. Dan kekentalan senioritas di SMA Impian Indonesia jauh lebih terasa dibanding sekolah lain.

Ramy beringsut mendekati Lagas. Muka Ramy antara cengengesan dan gugup. Siapa juga yang tidak gugup bila berhadapan dengan macan yang satu ini? Salah sedikit, bisa kena cakarannya yang menurut legenda sudah diasah sebelum lahir.

Oke, Ramy berlebihan.

"Kenapa, Gas?" tanya Ramy, dalam diam laki-laki itu mengepalkan tangannya, takut kena omel seperti tadi.

"Lo bener enggak, pas ngitung di asrama tadi? Gue ngitung ini cuma dapet 49, satu lagi mana? Diculik Kalong Wewe?" tanya Lagas sedikit menyindir. Dugaan bahwa Ramy ceroboh seperti biasa terngiang-ngiang di kepala Lagas. Masalahnya, bila satu orang tidak becus, akan berdampak pada yang lain.

Apalagi pada diri Lagas.

Pandangan Ramy lantas tertuju pada siswa, lalu pada Lagas. "I-iya... gue yakin, kok! Tadi gue ngitung berderet. Jadi enggak mungkin salah hitung."

Lagas sejenak terdiam. Dia melihat pengurus lain tengah sibuk merapikan barisan. Ada menyuruh mulut mereka diam dengan galak. Ada juga yang sibuk mengecek atribut. Satu saja tidak lengkap, poin akan ditambahkan pada siswa.

Setelah lama memutuskan, akhirnya Lagas menghela napas. Urusan ini selalu membuatnya jengkel. Tapi, apalagi yang bisa Lagas lakukan selain menjalaninya?

"Halo, gue minta perhatiannya sebentar!" seru Lagas dengan suara lantang.

Masih terdengar bisik-bisik menyebalkan dari lapangan. Lagas tidak diperhatikan. Lagas tidak suka fakta itu.

"WOI, MULUT LO SATU TAPI NGOCEHNYA KAYAK KERAN BOCOR!" kali ini, Lagas tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dia sudah biasa memarahi yang seperti ini. Biarlah pagi ini diisi dengan wajah-wajah syok siswa 2P karena sikapnya.

HSS (1): DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang