BAB 17
"Jangan pernah menilai orang lain. Memang, kamu lebih baik darinya? Tidak. Kita semua punya kelemahan masing-masing. Apa kamu sudah sadar kelemahanmu sampai kamu bisa menilai orang lain seperti itu?"
(Judy Tidak Terima)
"Eh, gue boleh duduk di sini, enggak?" tanya Judy dengan senyum penuh dipaksakan pada gerombolan perempuan yang duduk di salah satu meja kantin.
Sebenarnya bila masih ada meja kosong, kalau bisa mejanya di pojok saja yang luput dari perhatian orang lain, Judy akan mengambilnya secepat mungkin. Tapi, sialnya, kantin sedang penuh-penuhnya sehingga Judy harus mencari meja yang kosong. Satu-satunya meja kosong adalah meja ini. Judy tahu jelas kalau gerombolan perempuan yang ada di hadapannya sekarang adalah geng perempuan payah yang menjalani kerasnya kehidupan sekolah bersama-sama. Padahal sebenarnya, mereka tidak begitu dekat satu sama lain. Yang penting ada temen, biar keliatan enggak 'enggak punya temen' banget.
Tepat seperti yang Judy duga, mereka saling bertatapan seolah berdiskusi dengan bahasa batin apakah Judy berhak duduk di sana. Sebelum mereka sempat mengucapkan satu kata pun pada Judy, Judy menyela duluan.
"Wah, terimakasih! Gue pengin banget duduk di sini karena tempat yang lain penuh," cerocos Judy langsung seraya duduk di sana. Tanpa peduli tatapan risi dari mereka, Judy mencomot kentang goreng dan memakannya lahap. Kemudian dia menatap balik tatapan mereka semua dengan polos seolah tidak berdosa. "Kenapa?" tanya Judy tanpa bersalah.
Mereka menggeleng takzim lalu membiarkan Judy makan di sana. Kembali tenggelam entah obrolan apa. Yang terdengar oleh Judy hanya pesta, gaun, dan make up. Khas cewek-cewek kekinian? Entah, Judy tidak terlalu mengikuti zaman kalau enggak terpaksa banget.
Biasanya, Judy makan dengan Lema. Tapi kali ini, Judy tidak mau mencari Lema. Lema pun mengerti dan tidak mencari Judy. Yang Judy butuhkan sekarang hanyalah waktu untuk sendiri dan berpikir. Judy memang menyayangi Lema, Talu, Dean, Myla, dan Sergy. Tapi cara mereka yang seenaknya ini membuat Judy lebih ingin menghabiskan waktu sendiri. Lelah rasanya berpura-pura baik-baik saja sementara kenyataannya selalu sebaliknya.
Makanan pada nampan milik Judy nyaris habis sampai terjadi momen itu. Sebuah momen yang mungkin mengubah hidup Judy. Kejadiannya terjadi di ujung kantin. Sangat jauh dari Judy berada. Namun bisingnya terdengar. Seperti orang yang adu jotos dan orang-orang mulai melingkar, menonton.
Judy menghabiskan satu gigitan kentang gorengnya lalu berdiri, menuju keramaian untuk melihat apa yang terjadi.
Namun Judy menyesal. Seharusnya dia tidak perlu melihat. Seharusnya dia bisa menjaga dirinya agar tidak terlibat. Tapi sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki itu membuat Judy tidak bisa tinggal diam. Judy gelisah.
Buugh!
Di sana, Judy melihat dengan jelas ketika Lagas melayangkan satu tinju pada lawannya yang tidak berdaya. Lagas seperti kesetanan. Mungkin memang seperti itu bila dilihat dari matanya yang penuh amarah.
Judy tidak gemetar sedikitpun. Dia sudah terbiasa melihat orang bertengkar karena Lema selalu mengajaknya melihat pertandingan karate. Yang membuat Judy geram adalah lawan Lagas. Apa yang sudah lawan Lagas katakan sampai laki-laki penyabar macam Lagas bisa terbawa emosi seperti ini? Bahkan perempuan yang katanya banyak omong saja tidak bisa membuat Lagas emosian. Lah ini, laki-laki. Cemen pula, enggak bisa bales tinjunya Lagas sedikitpun.
Bugh! Bugh! Bugh!
Dan seruan dari penonton, "Hajar! Hajar! Hajar!"
Ya ampun.
KAMU SEDANG MEMBACA
HSS (1): Daisy
JugendliteraturKeluarga harmonis, teman-teman selalu ada di sampingnya, paras cantik, bahkan otak yang terbilang cerdas. Semua dimiliki oleh Judy. Apa pun yang kamu inginkan, dia punya. Tinggal sebutkan saja, Judy akan memberi dengan cuma-cuma-tentunya, dengan ca...